Oleh:Boy Anugerah
DEWASA ini kita memasuki sebuah tahapan yang disebut oleh banyak kalangan sebagai era revolusi industri 4.0. Era ini secara fundamental berdampak terhadap perubahan pola pikir, gaya hidup, serta cara berinteraksi antarmanusia.
Fenomena revolusi industri 4.0 yang diperkenalkan pertama kali oleh sekelompok ahli asal Jerman pada acara Hannover Trade Fair 2011 ini juga telah mendisrupsi berbagai aktivitas manusia di berbagai bidang. Tidak hanya pada lingkup ilmu pengetahuan dan teknologi saja, tapi juga ekonomi, politik, hingga aspek sosial dan budaya masyarakat.
Implikasi perubahan tersebut dapat dilihat secara jelas dalam landskap kehidupan masyarakat Indonesia sehari-hari. Banyak perusahaan mengaplikasikan teknologi otomatisasi untuk mencapai efektivitas dan efisiensi dalam kegiatan operasionalnya.
Para politisi lebih cenderung menggunakan media sosial semisal Twitter dan Instagram yang memiliki daya jangkau luas untuk menyapa konstituennya. Masyarakat lebih mudah mengakses beragam informasi hanya melalui telepon genggam di tangan tanpa harus bersusah payah membuang tenaga untuk membeli media cetak di kios surat kabar.
Revolusi industri 4.0. sekilas memberikan kemudahan dalam berbagai hal. Namun demikian, dibalik berbagai kemudahan tersebut terdapat dampak negatif yang berpotensi menggerus ketahanan nasional. Teknologi otomatisasi, meskipun mendukung efektivitas dan efisiensi perusahaan, namun berdampak pada meningkatnya jumlah pengangguran, bahkan kriminalitas.
Penggunaan media sosial secara masif dan intens dalam berinteraksi secara perlahan telah mengikis sikap guyub (gemeinschaft) masyarakat. Tingginya aksesibilitas terhadap informasi namun tanpa filter yang kuat menimbulkan kerentanan sosial akibat maraknya hoaks dan ujaran kebencian.
Realitas tersebut tentu saja harus direspons secara cepat dan tepat oleh pemerintah dan segenap masyarakat agar dampak negatif yang ditimbulkan dapat direduksi, bahkan dinihilkan. Respons yang diberikan bisa bersifat regulatif melalui berbagai kebijakan publik atau perundang-undangan, bisa juga bersifat teknikal dengan melibatkan peran serta masyarakat yang peduli (civil society).
Namun demikian, piranti filosofis yang pertama dan utama untuk digunakan, baik oleh pemerintah sebagai penanggung jawab penyelenggaraan negara, maupun masyarakat itu sendiri sebagai subjek dan objek pembangunan adalah penguatan pemahaman akan nilai-nilai Pancasila sebagai konsensus dasar nasional.
Solusi penggunaan Pancasila untuk mengatasi implikasi negatif revolusi industri 4.0 mungkin terkesan abstrak bagi mereka yang berfikir terlalu teknokratis dalam menyikapi fenomena sosial di masyarakat. Namun sejarah membuktikan bahwa inilah piranti yang paling mendasar yang dimiliki oleh bangsa Indonesia dalam menjamin tegak dan kokohnya republik hingga hari ini.
Kita bisa berkaca pada fenomena yang terjadi pasca proklamasi kemerdekaan RI 17 Agustus 1945. Pada masa itu menguat sentimen primordial di kalangan anak bangsa, hidupnya ideologi komunisme yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia, hingga upaya-upaya separatisme di berbagai daerah sebagai wujud ketidakpuasan terhadap pemerintah.
Akan tetapi semua ancaman tersebut dapat diatasi karena strategi dan langkah penanganan yang diambil oleh pemerintah berkhidmat pada nilai-nilai yang tertuang dalam Pancasila sebagai dasar negara. Pada masa tersebut, tak dipungkiri bahwa kesadaran akan adilihungnya Pancasila sebagai nilai filosofis bangsa sangatlah kuat. Perasaan senasib sepenanggungan serta solidaritas kemanusiaan yang kuat karena pernah sama-sama dijajah oleh bangsa kolonial selama tiga setengah abad lamanya memudahkan bangsa Indonesia untuk berkontemplasi dan kembali ke titik sadar tatkala mereka dibebat oleh berbagai ancaman, gangguan, hambatan, serta tantangan (AGHT) yang merongrong persatuan dan kesatuan bangsa.
Kondisi pada hari ini sungguh berbeda apabila dibandingkan dengan situasi pada masa pasca kemerdekaan. Tatkala begitu banyak ancaman dan tantangan kebangsaan yang muncul, khususnya karena pengaruh masifnya arus globalisasi 4.0 yang menerjang tanpa pandang bulu, upaya untuk kembali menggunakan Pancasila sebagai respons filosofis menjadi terkendala.
Kendalanya terletak pada adanya jarak antara fungsionalitas Pancasila dengan pemahaman masyarakat, terlebih lagi generasi milenial yang lahir empat dekade lebih setelah kelahiran Pancasila. Jarak ini tercipta karena masyarakat menganggap bahwa Pancasila adalah sesuatu yang bersifat asbtrak.
Sebagai konsekuensinya, alih-alih mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat justru tidak paham akan hal yang paling mendasar dalam Pancasila itu sendiri, yakni genealogi dan nilai-nilai kebangsaan yang terkandung di dalamnya.
Oleh sebab itu, upaya untuk membumikan Pancasila sebagai dasar negara ke segenap lapisan masyarakat tanpa kecuali adalah suatu keharusan. Pemilihan kata ‘membumikan’ di sini menjadi kunci dan bermakna dua hal. Pertama, mendekatkan kembali Pancasila kepada masyarakat agar Pancasila bukan merupakan suatu hal yang asing atau absurd untuk dipahami.
Kedua, menginternalisasikan nilai-nilai luhur Pancasila dengan mengoptimalkan segenap sumber daya nasional yang dimiliki. Khusus untuk poin kedua, upaya menanamkan nilai-nilai luhur Pancasila ke kognisi masyarakat dapat memanfaatkan kelebihan dan kemudahan yang ditawarkan dalam revolusi 4.0. seperti penggunaan teknologi informasi dan komunikasi dalam proses sosialisasi dan internalisasi.
Hal ini secara implisit bermakna bahwa kita seyogianya bersikap bijak dalam menilai revolusi 4.0. Di satu sisi menyaring dampak negatifnya melalui Pancasila, di sisi lain menggunakan kelebihannya untuk internalisasi nilai-nilai Pancasila itu sendiri di masyarakat. Bagaimana mengoperasionalisasikannya? Upaya membumikan Pancasila haruslah bersifat multitrack atau dilakukan oleh segenap pemangku kepentingan agar prosesnya lebih cepat dan masif. Namun demikian, proporsi tanggung jawab terbesar tetap bertumpu pada trias politika bernegara, yakni eksekutif, legislatif, serta yudikatif.
Dalam konteks eksekutif, upaya membumikan Pancasila dapat dilakukan dengan menjadikan nilai-nilai Pancasila seperti nilai religius, kekeluargaan, keselarasan, kerakyatan, nilai keadilan sebagai nafas atau ruh dalam setiap perumusan kebijakan publik.
Dalam konteks parlemen, yakni MPR/DPR/DPD RI, secara konsisten menjadikan Pancasila sebagai philosophische grondslag dalam menjalankan tugas pokok dan fungsinya, khususnya legislasi dan pengawasan. Para legislator juga secara konsisten menyosialisasikan Pancasila dalam kerangka empat pilar kepada masyarakat.
Sedangkan di sisi yudikatif, upaya membumikan Pancasila dapat dikontekstualisasikan dalam bentuk menjalankan proses peradilan yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan seperti yang termaktub dalam Pancasila.
Revolusi industri 4.0 yang menjadi ‘anak kandung’ globalisasi merupakan fenomena yang tak bisa kita bendung. Ia menjelma menjadi sebuah keniscayaan (Scholte, 2000). Oleh sebab itu, penggunaan Pancasila sebagai sarana penyaring dan panduan gerak langkah ke depan menjadi penting dan relevan.
Dengan implementasi nilai-nilai Pancasila yang konsisten, muatan positif dalam revolusi industri 4.0 akan dapat dioptimalkan bagi kemaslahatan bangsa. Sedangkan muatan negatifnya dapat direduksi agar tidak berdampak buruk terhadap ketahanan dan pembangunan nasional.
(Penulis adalah Tenaga Ahli di MPR RI dan Mahasiswa Pascasarjana di School of Government and Public Policy Indonesia (SGPP Indonesia)