Penulis : Nahdoh Fikriyyah Islam, M.Pd.I ( Dosen Pendidikan Islam)
Wakil Ketua Komisi X DPR, Hetifah Sjaifudian mengaku setuju dengan Mendikbud Nadiem Makarim mengeluarkan Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019. Dalam aturan itu, pemalsu dokumen untuk mengakali sistem zonasi akan disanksi tegas. Hetifah menyebut Nadiem menunjukkan ketegasan terhadap aturan Permendikbud agar tidak yang memalsukan dokumen dalam sistem zonasi. Tujuannya juga bisa mencegah seorang yang menyalahgunakan setiap aturan. Namun berbeda menurut Wakil Ketua Komisi X Dede Yusuf menyatakan Nadiem lebih baik gunakan konsep manusiawi bagi yang memalsukan data. Misalnya pemalsu data tidak bisa diterima di sekolah manapun. Menurut Dede, ada aturan Permendikbud yang mengatur siswa yang tidak mampu. Namun kalimat penjara kurang tepat bagi dunia pendidikan. (detik.news.com, Selasa 31/12/2019).
Wakil Ketua Komisi X DPR, Hetifah Sjaifudian mengaku setuju dengan Mendikbud Nadiem Makarim mengeluarkan Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019. Dalam aturan itu, pemalsu dokumen untuk mengakali sistem zonasi akan disanksi tegas. Hetifah menyebut Nadiem menunjukkan ketegasan terhadap aturan Permendikbud agar tidak yang memalsukan dokumen dalam sistem zonasi. Tujuannya juga bisa mencegah seorang yang menyalahgunakan setiap aturan. Namun berbeda menurut Wakil Ketua Komisi X Dede Yusuf menyatakan Nadiem lebih baik gunakan konsep manusiawi bagi yang memalsukan data. Misalnya pemalsu data tidak bisa diterima di sekolah manapun. Menurut Dede, ada aturan Permendikbud yang mengatur siswa yang tidak mampu. Namun kalimat penjara kurang tepat bagi dunia pendidikan. (detik.news.com, Selasa 31/12/2019).
Mendikbud Nadiem Makarim mengeluarkan Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019. Dalam aturan itu diatur soal penerimaan siswa menggunakan sistem zonasi. Bahkan bagi yang memalsukan syarat, bisa dipenjarakan. Permendikbud Nomor 44 Tahun 2019 tentang Penerimaan Peserta Didik Baru Pada Taman Kanak-kanak, Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, Sekolah Menengah Atas, dan Sekolah Kejuruan.
Dalam Permendikbud itu, masuk TK-SMA melalui 4 jalur, yaitu:
1.Zonasi
2.Afirmasi
3.Perpindahan tugas orang tua/wali; dan/atau
4. Prestasi
Jalur zonasi sebagaimana di atas diperuntukkan bagi peserta didik yang berdomisili di dalam wilayah zonasi yang ditetapkan Pemerintah Daerah. Untuk menentukan masuk zona mana, harus dibuktikan berdasarkan alamat pada kartu keluarga (KK) yang diterbitkan paling singkat 1 tahun sejak tanggal pendaftaran PPDB. Selain menggunakan jalur zonasi, juga menggunakan jalur afirmasi. Jalur ini diperuntukkan bagi peserta didik yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu.
"Peserta didik baru yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibuktikan dengan bukti keikutsertaan peserta didik dalam program penanganan keluarga tidak mampu dari Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah," demikian bunyi Pasal 17 ayat 2. Bila ada yang memalsukan KK atau mengaku-aku miskin agar bisa masuk sekolah yang diinginkan, Nadiem menyatakan akan menyerahkan sesuai UU yang berlaku. Ancaman itu sebagaimana tertuang dalam Pasal 39 Pemalsuan terhadap:
a. Kartu KK sebagaiman dimaksud dalam pasal 14;
b. Bukti sebagai peserta didik yang berasal dari keluarga ekonomi tidak mampu sebagaimana dimaksud pasal 17 dan 18; dan
c. Bukti atas prestasi sebagaimana dimaksud dalam pasal 20, dikenai sanksi ketentuan peraturan perundang-undangan. Berdasarkan ketentuan perundang-undangan, bagi yang memalsukan akta otentik bisa dikenai Pasal 264 KUHP tentang Pemalsuan Dokumen, dengan hukuman maksimal 6 tahun penjara. (detik.news.com, Senin 30/12/2019)
Pergantian Presiden pasti diikuti pergantian menteri. Dan setiap pergantian pejabat juga terjadi perombakan peraturan. Padahal peraturan sebelumnya juga belum tuntas diselesaikan. Walhasil, rakyatlah yang selalu jadi korbannya. Begitu pula dengan wajah pendidikan negeri ini yang tak kunjung habis dirundung masalah. Setaip menteri yang menduduki jabatan di Kemendikbud pasti membuat aturan yang menurutnya cocok, dengan berbagai latar belakang kepentingan. Lihat saja kebijakan baru oleh Menteri pendidikan Nadiem. Belum tuntas menyelesaikan persoalan UAN, kini membuat kehebohan baru dengan mengeluarkan Permendikbud dan sanksi berat yang mengundang kontorversi dikalangan masyarakat, khususnya dunia pendidikan. Akankah sanksi seperti itu mempu memperbaiki wajah pendidikan bangsa? Untuk menjawab hal tersebut, perlu dipahami beberapa poin berikut.
Pertama, peraturan zonasi sejak diperlakukan memang telah mengundang masalaha baru bagi dunia pendidikan. Pada prakteknya, banyak ditemukan kasus pemalsuan dokumen oleh keluarga agar lepas dari jerat zonasi. Pastinya orang tua menginginkan anaknya memperoleh pendidikan yang lebih bagus dan ditunjang sarana dan prasarana yang juga memadai. Bayangkan ketika mereka berdomisili di wilayah terpencil dengan sarana pendidikan seadanya, kemudian nanti UAN tiba banyak soal tidak bisa dijawab karena factor keterbatasan fasilitas dan kemampuan guru. Belum lagi soal teknologi.
Demi pendidikan anak, orangtua tentunya melakukan sedaya upaya mereka, bahkan tega memalsukan dokumen. Mulai dari kartu keluarga hingga surat keterangan miskin. Dan pastinya, pemalsuan dokumen bukanlah mudah tanpa andil pejabat daerah setempat. Sebagai orangtua, kewajiban memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anaknya adalah hal yang akan mereka lakukan bagaimanapun caranya, hingga terkadang lupa dengan dosa dan melanggar rambu-rambu adminstrasi negara.
Kedua, lolosnya dokumen-dokumen palsu ini tentu bukanlah yang baru. Bahkan tidak hanya menimpa KK dan surat keterangan miskin. Hampir di semua instansi di Negara ini pasti memiliki kasus administrasi yang palsu. Hingga mudah saja bagi pejabat adiminitrasi untuk melakukannya. Dengan meminta sejumlah uang atau yang meminta menawarkan sejumlah uang. Lalu, kenapa objek sasarannya hanya kasus sekolah?
Ketiga, bagaimana cara memberikan sanksi kepada pemalsu dokumen, jika semua terlibat? Akankah pejabat daerahnya, orangtuanya hingga ke siswa juga akan dipenjara? Bukankah kalau nanti siswanya dari kalangan orang kaya akan lolos juga dari jerat hukum? Sebab mereka mampu membeli hukum tersebut. Begitu juga dengan pejabatnya, kalau pelaku pemalsuannya adalah saudara penguasa Negara, akankah dipenjara? Artinya, baik siswa, orangutua, pejabat setempat yang nanti mulus dipenjara adalah mereka dari kalangan yang tidak mampu berkelit karena tidak memiliki kekuatan modal dan OD (orang dalam). Meski kata Dede Yusuf diberikan sanksi yang manusiawi seperti tidak diterima di sekolah manapun, bukankah itu juga terlalu menyakitkan? Setiap anak memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan. Sebagai generasi penerus dan calom pemimpin masa depan. Seharusnya anak-anak mendapatkan kemudahan dari Negara untuk sekolah, bukan malah diancam dengan penjara. Lantas, apakah kepolisian sanggup memenjarakan anak sekolah TK/SD? Hanya karena KK atau surat keterangan yang mereka miliki dipalsukan?
Keempat, sanksi penjara ini teralalu terburu-buru dikeluarkan tanpa mengkaji akar masalah pemalsuan dokumen. Nadiem sebagai menteri pendidikan dengan latar belakang pengusaha, seharusnya melakukan banyak berdiskusi dengan pakar-pakar pendidikan dan pakar hukum yang mumpuni dalam memahami kasus dan sanksi. Tidak asal main tetapkan lalu terapkan. Sementara peraturan yang dikeluarkan tidak pada tempatnya.
Beginilah wajah pendidikan jika tidak memiliki pondasi yang kuat. Karena Negara yang menopangnya juga goyang. Akibat mengadopsi hukum-hukum penjajah menyebabkan setiap aturan yang dikeluarkan selalu bernuansa “menjajah”. Pendidikan tidak akan selesai hanya dengan penerapan tindak tegas pemalsu dokumen. Sebab, pemalsuan tersebut ibarat sudah jadi budaya bagi masyarakat. Pemisahan aturan agama dari kehidupan membuat pejabat dan orangtua tidak lagi takut dosa memalsukan data.
Jika Islam dijadikan sebagai aturan bernegara yang menaungi pendidikan, maka tidaklah akan marak dijumpai kasus-kasus yang menyepelekan dosa. Apalagi berbohong atau memalsukan data sebab termasuk dosa besar. Karena hal tersebut mencerminkan ssalah satu sifat orang munafik. Rasululah saw bersabda :
آيَةُ الْمُنَافِقِ ثَلَاث إِذَا حَدَّثَ كَذَبَ، وَ إِذَا وَعَدَ أَخْلَفَ، وَ إِذَا اؤْتُمِنَ خَانَ
“Tanda orang munafik itu tiga apabila ia berucap berdusta, jika membuat janji berdusta, dan jika dipercayai mengkhianati” (HR Al-Bukhari)
Dokumen adalah urusan administrasi. Oleh karena itu, dalam perspektif hukum Islam, masyarakat tidak akan dipersulit dengan hal tersebut. Karena dalam Islam, administrasi berfungsi untuk memudahkan urusan demi mendapatkan pelayanan dari negara. Sangat berbeda dengan kapitalisme yang diterapkan negeri ini. Administrasi justru jadi ajang pungli dan menipu. Selain itu, setiap solusi yang diambil justru menimbulkan polemik baru.
Pemalsuan dokumen tetaplah tidak dibenarkan dalam Islam. Karena termasuk criminal (jarimah). Setiap dosa adalah criminal dalam pandangan syariat, dan pastinya akan mendapatkan sanksi bagi pelakunya. Selain sanksi fisik juga sanksi dosa akan ia tanggung jika tidak bertaubat. Salah satu sanski penipu (pembohong) adalah tidak akan diambil sumpahnya karena tidak dipercaya. Dalam sebuah Negara yang menerapkan hukum Islam, para orangtua tidak akan mengajari atau memaksa anaknya menerima dokumen palsu. Karena mereka memahami sebagai orangtua bekewajiban jujur dan juga mencontohkannya. Begitu juga para pejabat administrasi akan memahami amanah dalam tugas. Karena amanah adalah kewajiban yang harus ditunaikan. Seharusnya edukasi–edukasi yang cemerlanglah diberikan bagi generasi dan juga masyarakat oleh pejabat-pejabat Negara ini. Dan harus dipahami dengan benar bahwa tidak ada edukasi yang cemerlang dan memberikan solusi tuntas bagi pendidikan juga segenap permasalahan hidup lainnya kecuali hanya dengan menjalankan aturan Islam secara totalitas.