Tanggal 19 Desember lalu diadakan peringatan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN) di Kalsel. Rangkaian acar dilaksanakan di berbagai daerah. Mulai dari kabupaten Tabalong, Balangan, Hulu Sungai Selatan, Tapin, Kabupaten Banjar dan acara puncak di Kota Banjarmasin. Dari semua rangkaian acara intinya kegiatan HKSN ditujukan untuk meningkatkan kepedulian dengan sesama (kesetiakawanan) guna menghapus kesenjangan ekonomi yang ada. (klik.kalsel.com, 17/12/19)
Program yang nampaknya indah ini sejatinya justru menunjukkan setidaknya tiga fakta mencengangkan sekaligus memprihatinkan. Pertama, adanya program ini menunjukan bahwa kondisi masyarakat saat ini tidak sedang baik-baik saja. Dari tujuan yang ditetapkan saja, jelas merupakan pengakuan terhadap realita kesenjangan sosial yang sudah mewabah dan sangat parah. Dengan ini klaim penguasa bahwa negara ini sedang baik-baik saja jelas hoax.
Perayaan HKSN juga membuktikan bahwa tolok ukur kemajuan ekonomi yang dipakai oleh penguasa saat bukanlah gambaran ekonomi masyarakat yang sesungguhnya. Karena angka yang meningkat itu hanya di sisi kaum elit. Sementara rakyat jelata makin sengsara. Jurang pemisah si kaya dan si miskin semakin curam. Inilah realita negeri ini yang harus diakui.
Kedua, inkonsistensi akut penguasa semakin nyata. Rakyat diminta untuk empati pada sesamanya, sementara pada saat yang sama tak ada penampakan empati yang serius dari penguasa. Di awal terpilihnya kabinet baru saja sudah memamerkan fasilitas mobil dinas mewah. Sementara rakyat, ada yang berangkat sekolah saja masih susah. Berjalan kaki berkilo-kilo, bahkan jalan yang dilewati sangat buruk bahkan membahayakan nyawa.
Iuran BPJS yang sejak awal sudah sangat membebani rakyat masih akan dinaikan dengan alasan ingin menutupi kerugian. Di saat yang sama rakyat disuguhi berita kenaikan tunjangan para pejabat BPJS. Belum lagi tarikan pajak yang benar-benar sudah membajak usaha rakyat kecil bahkan yang baru merangkak. Bersamaan dengan itu penguasa membuat kebijakan bebas pajak bagi pengusaha besar dalam dan luar negeri yang mau berinvestasi di dalam negeri.
Lihatlah pula bagaimana keran impor beras, gula atau yang lainnya dibuka besar-besaran di tengah produksi atau stok melimpah. Sampai ada stok yang membusuk dan dimusnahkan begitu saja. Bagaimana pula garam dan pacul diimpor padahal pengrajin dalam negeri mampu memproduksinya andai didukung oleh penguasa. Semua adalah bukti kesetiaan penguasa bukan pada rakyatnya, melainkan pada pengusaha. Tak peduli harus mematikan kepul asap dapur rakyat jelata.
Saat ribuan bahkan mungkin jutaan rakyat menganggur, negara justru menyepakati investasi Cina masuk sepaket dengan tenaga kerjanya. Dan membiarkan banyak kepala keluarga warga negara kehilangan kesempatan bekerja. Mana empati para penguasa yang mengajari rakyat untuk empati? Mana kesetiaan penguasa pada rakyat saat mengajarkan kesetiakawanan rakyat pada sesamanya? Ternyata HKSN justru gagal menembus batas dinding arogansi penguasa.
“Wahai orang-orang yang beriman, kenapa kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan? Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan.” (QS. As-Shaff: 2-3)
Ketiga, dalam kondisi kesenjangan sosial yang amat besar ini, upaya melibatkan sesama rakyat untuk berbagi justru mengesankan adanya upaya pengalihan tanggung jawab. Berbalut istilah manis "kesetiakawanan", tersembunyi racun mematikan produk kapitalisme. Yaitu, matinya peran penguasa dari tugas utamanya sebagai penjamin kesejahteraan rakyat.
Sedangkan di sisi rakyat, pada para aktivis, gerakan kepedulian dan berbagi untuk mengatasi kesenjangan sosial ini justru membuat mereka lengah pada tugas utama sebagai penasehat penguasa. Merasa telah banyak berbuat lalu merasa cukup dengan amal pragmatis ini. Pada masyarakat biasa/ kebanyakan, adanya bantuan-bantuan dari sesama ini membuat mereka mati rasa terhadap kelalaian penguasa dalam mengurusi mereka. Sudah ada sesama yang membantu, hilangnya peran penguasa jadi tak begitu dirasa lagi. Maka secara umum, proyek "kesetiakawanan sosial menembus batas" ini justru mematikan sikap kritis rakyat pada penguasa.
Negeri outopilot ini ibarat bangunan rapuh. HKSN tak ubahnya seperti cat yang disepuhkan hingga bangunan terlihat bagus. Membuat semua penghuni rumah hilang kesadaran bahwa tetap tinggal di sana adalah bahaya besar. Hingga mereka tak lagi merasa perlu untuk membangun rumah baru yang kokoh. Suatu masa yang tidak lama mereka akan tertimbun reruntuhan bangunan tua itu secara bersamaan. Mengerikan.
Berlepas tangannya penguasa dalam urusan rakyat apalagi jelas-jelas mengikatkan kesetiaannya pada para kapital adalah sumber petaka negeri ini. Kezaliman besar. Membiarkan kezaliman terus berjalan merupakan kesalahan vital dan fatal. Menyengsarakan rakyat dan mengundang azab Allah.
“Sesungguhnya jika manusia melihat seseorang melakukan kezhaliman, kemudian mereka tidak mencegah orang itu, maka Allah akan meratakan adzab kepada mereka semua." (HR Abu Dâwud dan at-Tirmidzi)
Naudzubillah tsumma naudzubillah. Maka, saatnyalah melakukan amal yang mampu menyelesaikan masalah umat secara tuntas sekaligus mengundang ridha dan rahmat Allah swt. Dengan mengemban dakwah pemikiran, hingga umat paham buruknya aturan hidup ala kapitalis sekuler. Lalu secara suka rela meminang sistem Ilahi untuk diaplikasikan secara totalitas. Insyaallah negeri ini akan #BerkahDenganSyariahKaffah. []