Oleh: Dyan Indriwati Thamrin
Pemerhati Masalah Sosial dan Politik
Pemerintah tengah mengkaji rencana pengupahan baru berbasis produktivitas. Diwacanakan sistem pengupahan tidak lagi hitungan bulan, namun dirubah menjadi per jam. Sistem pengupahan yang berlaku di Indonesia saat ini adalah upah bulanan.
Melalui upah per jam artinya gaji yang diterima dihitung berdasarkan jam kerja. Ambillah contoh dalam sebulan bekerja 40 jam, gaji yang diperoleh tinggal dikalikan saja 40 dengan gaji per jamnya. Jumlah tersebut adalah upah yang akan diterima setiap bulannya.
Menanggapi hal ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menuturkan jika pembahasan mengenai hal ini sudah dikomunikasikan dengan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Melalui komunikasi ini juga dibicarakan pengaturan tenaga kerja asing. “Kesepakatan kerja dan tentu hak pekerja dijamin dan terkait jenis pengupahannya untuk berbasis jam kerja dan harian,” ujar Airlangga.
Terkait hal ini, para serikat buruh angkat bicara. Melalui sistem pengupahan berbasis per jam, menurutnya pekerja tidak mendapatkan kepastian. “Buruh menolak Omnibus Law. Termasuk di dalamnya yang mengatur fleksibilitas jam kerja,” kata Ketua Departemen Komunikasi dan Media KSPI, Kahar S Cahyono kepada CNBC Indonesia, Senin (23/12/2019).
Serikat buruh menyampaikan jika pihaknya membutuhkan kepastian kerja dan pendapatan kerja. Sehingga buruh bisa menentukan rencana kehidupannya, waktu untuk bekerja, beristirahat, dan bermasyarakat. “Jam kerja yang saat ini diatur yakni 8 jam sehari atau 40 jam seminggu masih relevan. Termasuk aturan mengenai hak istirahat dan hak cuti,” katanya.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengungkapkan, meski upah dihitung per jam dan fleksibel, namun pembayarannya kepada pekerja akan tetap dilakukan perbulan. Ia menambahkan ide sistem pengupahan dengan pendekatan fleksibilitas waktu ternyata banyak dibutuhkan oleh banyak pekerja tertentu. “Karena ada banyak pekerjaan yang beberapa jam nanti dia bisa bekerja di tempat lain,” katanya. https://ridhmedia.blogspot.com/search?q=04/buruh-dalam-perspektif-islam
Dalam Islam proses menentukan upah berasal dari dua faktor, objektif dan subjektif. Objektif adalah upah yang ditentukan melalui penilaian tingkat upah di pasar tenaga kerja. Sementara Subjektif, upah ditentukan melalui pertimbangan-pertimbangan sosial. Maksud pertimbangan-pertimbangan sosial adalah nilai-nilai pertimbangan tenaga kerja.
Islam memandang upah sangat besar disetujui dengan konsep moral atau sepenuhnya disetujui. Upah dalam Islam tidak hanya sebatas materi, tetapi juga menembus batas kehidupan, yaitu dimensi akhirat yang disebut dengan pahala. http://www.radarindonesianews.com/2019/02/ratna-munjiah-upah-minim-nasib-buruh
Pekerja (ajir) adalah setiap orang yang bekerja dengan gaji (upah) tertentu, baik yang mempekerjakan (musta’jir)-nya pribadi, perusahaan, maupun negara. Karena itu, pekerja mencakup orang yang bekerja dalam bidang kerja apa pun (dengan catatan bukan pekerjaan yang terlarang menurut Islam), tanpa dibedakan apakah pegawai negara maupun pekerja lain.
Ijarah didefinisikan sebagai akad atau transaksi atas manfaat atau jasa yang diberikan pekerja dengan memperoleh imbalan berupa gaji atau upah dari majikan atau perusahaan. Ini berarti, apa yang mendasari akad atau transaksi ini adalah manfaat atau jasa yang diberikan pekerja, bukan kebutuhan hidup pekerja atau yang lainnya. Atas dasar ini, Islam tidak menyertakan kebutuhan-kebutuhan pekerja akan jaminan kesehatan, pendidikan, keamanan, dan lain-lain dalam transaksi ijarah. Ini karena, definisi ijarah itu hanya terkait dengan manfaat yang diberikan oleh pekerja, serta dibayar dengan gaji yang disepakati oleh kedua belah pihak. Alhasil, jika manfaat yang diberikan oleh pekerja itu sedikit, maka upahnya juga kecil sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
Dengan demikian, negara tidak perlu menetapkan UMR (Upah Minimum Regional). Bahkan, penetapan seperti ini tidak diperbolehkan, dianalogikan pada larangan menetapkan harga. Karena, baik harga maupun upah, sama-sama merupakan kompensasi yang diterima oleh seseorang. Bedanya, harga adalah kompensasi barang, sedangkan upah merupakan kompensasi jasa.
Sesungguhnya Islam tidak pernah mengenal masalah perburuhan sebagaimana yang terjadi saat ini. Bahkan, Islam memposisikan pembantu sebagai saudara majikannya. Dari Abu Dzar radhiallahu'anhu, Rasul SAW bersabda : “Saudara kalian adalah budak kalian. Allah jadikan mereka di bawah kekuasaan kalian.” (HR. Bukhari no. 30).
Islam juga memberi peringatan keras kepada para majikan yang menzalimi pembantunya atau pegawainya. Dalam hadits qudsi dari Abu Hurairah radhiallahu'anhu, Rasul SAW meriwayatkan, bahwa Allah SWT berfirman : “Ada 3 orang, yang akan menjadi musuh-Ku pada hari kiamat : … orang yang mempekerjakan seorang buruh, si buruh memenuhi tugasnya, namun dia tidak memberikan upahnya (yang sesuai).” (HR. Bukhari 2227 dan Ibn Majah 2442).
Kewajiban pekerja adalah bekerja mengikuti spesifikasi pekerjaan yang disepakati dengan majikan atau perusahaan, menepati waktu kerja (jam kerja dalam sehari, hari dalam seminggu, dsb.), jangka waktu kontrak dan semua syarat yang telah disepakati. Sedangkan majikan atau perusahaan wajib memberi upah sesuai dengan kesepakatan, yang wajib dibayar tepat pada waktunya. Oleh karena itu, setiap orang yang sudah menyetujui perjanjian, baik ia sebagai pekerja maupun majikan atau perusahaan, wajib mentaati dan menjalankannya dengan bersungguh-sungguh karena mematuhi perjanjian (akad) dalam Islam termasuk kewajiban yang pasti. Melalaikan kewajiban atau melanggar akad merupakan dosa besar dan wajib diberikan hukuman. https://ridhmedia.blogspot.com/search?q=04/buruh-dalam-perspektif-islam
Dalam Islam proses menentukan upah berasal dari dua faktor, objektif dan subjektif. Objektif adalah upah yang ditentukan melalui penilaian tingkat upah di pasar tenaga kerja. Sementara Subjektif, upah ditentukan melalui pertimbangan-pertimbangan sosial. Maksud pertimbangan-pertimbangan sosial adalah nilai-nilai pertimbangan tenaga kerja.
Islam memandang upah sangat besar disetujui dengan konsep moral atau sepenuhnya disetujui. Upah dalam Islam tidak hanya sebatas materi, tetapi juga menembus batas kehidupan, yaitu dimensi akhirat yang disebut dengan pahala. http://www.radarindonesianews.com/2019/02/ratna-munjiah-upah-minim-nasib-buruh?m=1
Dengan mencermati kondisi Indonesia sekarang ini, dengan berat hati harus diakui, nasib buruh masih sangat jauh dari yang diharapkan, apalagi beroleh kesejahteraan. Sudah sedemikian kerasnya membanting tulang, namun pada kenyataannya hasil yang didapatkan pun masih tidak mencukupi kebutuhan hidup yang layak bagi para buruh.
Para buruh menerima gaji/upah yang rendah, itu pun kemudian dihadapkan pada kondisi harus bersaing dengan tenaga kerja asing yang masuk dari luar, lapangan pekerjaan yang semakin sempit, sementara harga kebutuhan pokok pun selalu naik.
Rasulullah SAW bersabda : “Siapa saja diantara kalian yang bangun pagi dalam keadaan diri dan keluarganya aman, fisiknya sehat dan ia mempunyai makanan untuk hari itu, maka seolah-olah ia mendapatkan dunia.” (HR. At-Tirmidzi). Karena itu, dalam ketentuan Islam, negara wajib menjamin pemenuhan kebutuhan pokok berupa pangan, papan dan sandang untuk tiap-tiap individu rakyat. Negara juga wajib menyediakan pelayanan keamanan, pendidikan dan pelayanan kesehatan untuk seluruh rakyat. Hal ini merupakan bagian dari kewajiban mendasar negara (penguasa) atas rakyatnya. Penguasa tidak boleh berlepas tangan dari penunaian kewajiban itu. Mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas kewajiban ini di akhirat. Rasulullah SAW bersabda : “Pemimpin adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR. Al-Bukhari).
Sedemikian sempurna Islam mengatur dalam segala urusan manusia, tak terkecuali masalah perburuhan. Islam menetapkan standar upah berdasarkan hak-hak kemanusiaan. Kalau sudah begini, nasib buruh pun tidak makin keruh, karena kesejahteraan menjelma menjadi kenyataan sebagaimana yang diharapkan.
Pemerhati Masalah Sosial dan Politik
Pemerintah tengah mengkaji rencana pengupahan baru berbasis produktivitas. Diwacanakan sistem pengupahan tidak lagi hitungan bulan, namun dirubah menjadi per jam. Sistem pengupahan yang berlaku di Indonesia saat ini adalah upah bulanan.
Melalui upah per jam artinya gaji yang diterima dihitung berdasarkan jam kerja. Ambillah contoh dalam sebulan bekerja 40 jam, gaji yang diperoleh tinggal dikalikan saja 40 dengan gaji per jamnya. Jumlah tersebut adalah upah yang akan diterima setiap bulannya.
Menanggapi hal ini, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menuturkan jika pembahasan mengenai hal ini sudah dikomunikasikan dengan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo). Melalui komunikasi ini juga dibicarakan pengaturan tenaga kerja asing. “Kesepakatan kerja dan tentu hak pekerja dijamin dan terkait jenis pengupahannya untuk berbasis jam kerja dan harian,” ujar Airlangga.
Terkait hal ini, para serikat buruh angkat bicara. Melalui sistem pengupahan berbasis per jam, menurutnya pekerja tidak mendapatkan kepastian. “Buruh menolak Omnibus Law. Termasuk di dalamnya yang mengatur fleksibilitas jam kerja,” kata Ketua Departemen Komunikasi dan Media KSPI, Kahar S Cahyono kepada CNBC Indonesia, Senin (23/12/2019).
Serikat buruh menyampaikan jika pihaknya membutuhkan kepastian kerja dan pendapatan kerja. Sehingga buruh bisa menentukan rencana kehidupannya, waktu untuk bekerja, beristirahat, dan bermasyarakat. “Jam kerja yang saat ini diatur yakni 8 jam sehari atau 40 jam seminggu masih relevan. Termasuk aturan mengenai hak istirahat dan hak cuti,” katanya.
Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah mengungkapkan, meski upah dihitung per jam dan fleksibel, namun pembayarannya kepada pekerja akan tetap dilakukan perbulan. Ia menambahkan ide sistem pengupahan dengan pendekatan fleksibilitas waktu ternyata banyak dibutuhkan oleh banyak pekerja tertentu. “Karena ada banyak pekerjaan yang beberapa jam nanti dia bisa bekerja di tempat lain,” katanya. https://ridhmedia.blogspot.com/search?q=04/buruh-dalam-perspektif-islam
Dalam Islam proses menentukan upah berasal dari dua faktor, objektif dan subjektif. Objektif adalah upah yang ditentukan melalui penilaian tingkat upah di pasar tenaga kerja. Sementara Subjektif, upah ditentukan melalui pertimbangan-pertimbangan sosial. Maksud pertimbangan-pertimbangan sosial adalah nilai-nilai pertimbangan tenaga kerja.
Islam memandang upah sangat besar disetujui dengan konsep moral atau sepenuhnya disetujui. Upah dalam Islam tidak hanya sebatas materi, tetapi juga menembus batas kehidupan, yaitu dimensi akhirat yang disebut dengan pahala. http://www.radarindonesianews.com/2019/02/ratna-munjiah-upah-minim-nasib-buruh
Pekerja (ajir) adalah setiap orang yang bekerja dengan gaji (upah) tertentu, baik yang mempekerjakan (musta’jir)-nya pribadi, perusahaan, maupun negara. Karena itu, pekerja mencakup orang yang bekerja dalam bidang kerja apa pun (dengan catatan bukan pekerjaan yang terlarang menurut Islam), tanpa dibedakan apakah pegawai negara maupun pekerja lain.
Ijarah didefinisikan sebagai akad atau transaksi atas manfaat atau jasa yang diberikan pekerja dengan memperoleh imbalan berupa gaji atau upah dari majikan atau perusahaan. Ini berarti, apa yang mendasari akad atau transaksi ini adalah manfaat atau jasa yang diberikan pekerja, bukan kebutuhan hidup pekerja atau yang lainnya. Atas dasar ini, Islam tidak menyertakan kebutuhan-kebutuhan pekerja akan jaminan kesehatan, pendidikan, keamanan, dan lain-lain dalam transaksi ijarah. Ini karena, definisi ijarah itu hanya terkait dengan manfaat yang diberikan oleh pekerja, serta dibayar dengan gaji yang disepakati oleh kedua belah pihak. Alhasil, jika manfaat yang diberikan oleh pekerja itu sedikit, maka upahnya juga kecil sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.
Dengan demikian, negara tidak perlu menetapkan UMR (Upah Minimum Regional). Bahkan, penetapan seperti ini tidak diperbolehkan, dianalogikan pada larangan menetapkan harga. Karena, baik harga maupun upah, sama-sama merupakan kompensasi yang diterima oleh seseorang. Bedanya, harga adalah kompensasi barang, sedangkan upah merupakan kompensasi jasa.
Sesungguhnya Islam tidak pernah mengenal masalah perburuhan sebagaimana yang terjadi saat ini. Bahkan, Islam memposisikan pembantu sebagai saudara majikannya. Dari Abu Dzar radhiallahu'anhu, Rasul SAW bersabda : “Saudara kalian adalah budak kalian. Allah jadikan mereka di bawah kekuasaan kalian.” (HR. Bukhari no. 30).
Islam juga memberi peringatan keras kepada para majikan yang menzalimi pembantunya atau pegawainya. Dalam hadits qudsi dari Abu Hurairah radhiallahu'anhu, Rasul SAW meriwayatkan, bahwa Allah SWT berfirman : “Ada 3 orang, yang akan menjadi musuh-Ku pada hari kiamat : … orang yang mempekerjakan seorang buruh, si buruh memenuhi tugasnya, namun dia tidak memberikan upahnya (yang sesuai).” (HR. Bukhari 2227 dan Ibn Majah 2442).
Kewajiban pekerja adalah bekerja mengikuti spesifikasi pekerjaan yang disepakati dengan majikan atau perusahaan, menepati waktu kerja (jam kerja dalam sehari, hari dalam seminggu, dsb.), jangka waktu kontrak dan semua syarat yang telah disepakati. Sedangkan majikan atau perusahaan wajib memberi upah sesuai dengan kesepakatan, yang wajib dibayar tepat pada waktunya. Oleh karena itu, setiap orang yang sudah menyetujui perjanjian, baik ia sebagai pekerja maupun majikan atau perusahaan, wajib mentaati dan menjalankannya dengan bersungguh-sungguh karena mematuhi perjanjian (akad) dalam Islam termasuk kewajiban yang pasti. Melalaikan kewajiban atau melanggar akad merupakan dosa besar dan wajib diberikan hukuman. https://ridhmedia.blogspot.com/search?q=04/buruh-dalam-perspektif-islam
Dalam Islam proses menentukan upah berasal dari dua faktor, objektif dan subjektif. Objektif adalah upah yang ditentukan melalui penilaian tingkat upah di pasar tenaga kerja. Sementara Subjektif, upah ditentukan melalui pertimbangan-pertimbangan sosial. Maksud pertimbangan-pertimbangan sosial adalah nilai-nilai pertimbangan tenaga kerja.
Islam memandang upah sangat besar disetujui dengan konsep moral atau sepenuhnya disetujui. Upah dalam Islam tidak hanya sebatas materi, tetapi juga menembus batas kehidupan, yaitu dimensi akhirat yang disebut dengan pahala. http://www.radarindonesianews.com/2019/02/ratna-munjiah-upah-minim-nasib-buruh?m=1
Dengan mencermati kondisi Indonesia sekarang ini, dengan berat hati harus diakui, nasib buruh masih sangat jauh dari yang diharapkan, apalagi beroleh kesejahteraan. Sudah sedemikian kerasnya membanting tulang, namun pada kenyataannya hasil yang didapatkan pun masih tidak mencukupi kebutuhan hidup yang layak bagi para buruh.
Para buruh menerima gaji/upah yang rendah, itu pun kemudian dihadapkan pada kondisi harus bersaing dengan tenaga kerja asing yang masuk dari luar, lapangan pekerjaan yang semakin sempit, sementara harga kebutuhan pokok pun selalu naik.
Rasulullah SAW bersabda : “Siapa saja diantara kalian yang bangun pagi dalam keadaan diri dan keluarganya aman, fisiknya sehat dan ia mempunyai makanan untuk hari itu, maka seolah-olah ia mendapatkan dunia.” (HR. At-Tirmidzi). Karena itu, dalam ketentuan Islam, negara wajib menjamin pemenuhan kebutuhan pokok berupa pangan, papan dan sandang untuk tiap-tiap individu rakyat. Negara juga wajib menyediakan pelayanan keamanan, pendidikan dan pelayanan kesehatan untuk seluruh rakyat. Hal ini merupakan bagian dari kewajiban mendasar negara (penguasa) atas rakyatnya. Penguasa tidak boleh berlepas tangan dari penunaian kewajiban itu. Mereka akan dimintai pertanggungjawaban atas kewajiban ini di akhirat. Rasulullah SAW bersabda : “Pemimpin adalah pengurus rakyat dan dia bertanggung jawab atas rakyat yang dia urus.” (HR. Al-Bukhari).
Sedemikian sempurna Islam mengatur dalam segala urusan manusia, tak terkecuali masalah perburuhan. Islam menetapkan standar upah berdasarkan hak-hak kemanusiaan. Kalau sudah begini, nasib buruh pun tidak makin keruh, karena kesejahteraan menjelma menjadi kenyataan sebagaimana yang diharapkan.