Riwayat Kiai Muara Ogan

Ridhmedia
21/12/12, 13:43 WIB



JIKA kita melongok ke tepian Sungai Ogan di kecamatan Kertapati, maka akan tampak sebuah masjid dengan arsitektur yang seakan-akan dengan masjid Agung. Ornamen yang ada di Masjid Kiai Merogan mengatakan aneka macam budaya yang tumbuh di masyarakat Palembang pada waktu itu, yaitu perpaduan Melayu dan Timur dengan ciri keterbukaan. Itulah Masjid Kiai Merogan.

Masjid Kiai Merogan ini merupakan masjid kedua yang dibangun di Palembang, sesudah Masjid Agung. Masjid Kiai Merogan didirikan pada tahun 1310 H atau 1890 M oleh ulama Palembang yang sangat terkenal, yaitu Ki Mgs. H. Abdul Hamid bin Mgs H. Mahmud alias K. Anang atau yang lebih dikenal dengan nama Kiai Merogan dengan biaya sendiri. Ki Mgs. H. Abdul Hamid bin Mgs H. Mahmud alias K. Anang atau Kiai Merogan ini dilahirkan pada tahun 1811 M dari seorang ulama dan pedagang yang sukses.

Kiai Merogan mendirikan masjid tersebut dengan sebuah naskah yang terdapat goresan pena “Nuzar Nujal Lillahi Ta’alai” pada tanggal 6 Syawal 1310 H. Di masa Kesultanan Palembang masjid ini punya tugas yang strategis dalam aneka macam kegiatan keagamaan dan sosial masyarakat Palembang.

Kiai Merogan senantiasa mengajarkan zikir kepada pengikutnya dengan cara yang unik. Apabila Beliau akan pergi-pulang dari Masjid Kiai Merogan ke Masjid Lawang Kidul, sambil mengasuh bahtera Beliau dan pengikutnya gotong royong menyenandungkan zikir secara berulang-ulang. Karena itulah penduduk sekitar tahu jikalau Kiai Merogan sedang lewat dan semenjak itulah Beliau dikenal dengan nama Kiai Merogan. Nama Kiai Merogan sesuai dengan acara Beliau yang sering berada di tempat Muara sungai Ogan yang airnya mengalir ke sungai Musi.

Tidak hanya Masjid Kiai Merogan yang dibangun Kiai Merogan, tetapi Masjid Lawang Kidul yang berada di tepi Sungai Musi, di daerah seberang ilir, kelurahan 5 ilir. Selain itu, Kiai Merogan juga mendirikan masjid di desa Pedu, Pemulutan, OKI dan masjid di desa Ulak Kerbau Lama, Pegagan Ilir, OKI. Sangat disayangkan, kebakaran yang terjadi pada tahun 1964—1965 telah menghanguskan peninggalan karya tulis Kiai Merogan.

Semasa hidupnya, Ki Merogan melaksanakan pelawatan ke Mekkah dan Saudi Arabia untuk menuntut ilmu agama. Namun, selama berada di negeri orang, Beliau senatiasa terbayang dan teringat pada “Si anak Yatim” yang berada di tepian Sungai Ogan dan tepian Sungai Musi, yang tak lain yakni Masjid Kiai Merogan dan Masjid Lawang Kidul.

Kiai Merogan meninggalkan para pendukungnya pada 31 Oktober 1901 dan dimakamkan di sekitar Masjid Kiai Merogan Meskipun, Kiai Merogan telah usang tiada, makamnya dikeramatkan hingga sekarang dan senantiasa ramai dikunjungi para peziarah yang tiba dari aneka macam daerah untuk berdoa dan menerima berkah.

Kiai Merogan sanggup dipandang sebagai sejarah kolektif (folk history). Cerita-cerita orang-orang suci (legends of the saints) sanggup terus hidup di tengah masyarakat pendukungnya.

Cerita-cerita mengenai kemujizatan, wahyu, permintaaan melalui sembahyang, kaul yang terkabul, dan lain-lain sanggup kita peroleh melalui pewarisan lisan dari waktu ke waktu, di antaranya kisah mengenai ikan.

Pada suatu waktu ada pedagang ikan yang berasal dari OKI membawa ikan yang hendak dijualnya ke Palembang. Namun, dikala hingga di Palembang, semua ikan-ikan tersebut mati. Lalu, pedagang itu teringat akan kemasyuran Kiai Merogan. Kemudian pedagang tersebut menemui Kiai Merogan untuk meminta nasihat. Belum sempat pedagang itu berkata sepatah katapun, Kiai Merogan pribadi berkata, “Insya’Allah, semua ikan-ikanmu hidup dan sanggup dijual ke pasar!” Ketika hingga di perahu, pedagang itu melihat seluruh ikan-ikannya hidup.

Kisah lainnya, dikala seseorang ingin menunjukan kekeramatan Kiai Merogan dengan cara melepas seekor ikan yang besar, sambil berkata “Hai Ikan, pergilah Engkau menemui Kiai Merogan di Masjid Merogan!” Belum sempat mengutarakan maksudnya, sang Kiai lebih dulu menyapanya dan berkata jikalau kirimannya sudah hingga dan diterima dengan baik.

Kiai Merogan memang telah usang tiada, namun peninggalannya tetap infinit dan berdiri kokoh. Kisah, perjuangan, dan ajarannya senantiasa hidup, hadir, dan menjadi contoh masyarakat pendukungnya dari waktu ke waktu.

Komentar

Tampilkan

Terkini

Peristiwa

+