Kisah Ashabul Kahfi

Ridhmedia
23/06/13, 18:15 WIB





"(Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari kawasan berlindung kedalam gua kemudian mereka berdoa, "Wahai Tuhan kami berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurnakanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)." (QS al-Kahfi:10).

Dengan panjang lebar kitab Qishashul Anbiya mulai dari halaman 566 meriwayatkan sebagai berikut:

Dikala Umar bin Khattab memangku jabatan sebagai Amirul Mukminin, pernah tiba kepadanya beberapa orang pendeta Yahudi. Mereka berkata kepada Khalifah, "Hai Khalifah Umar, anda ialah pemegang kekuasaan setelah Muhammad dan sahabatnya, Abu Bakar. Kami hendak menanyakan beberapa duduk perkara penting kepada anda. Jika anda sanggup memberi jawaban kepada kami, barulah kami mau mengerti bahwa Islam merupakan agama yang benar dan Muhammad benar-benar seorang Nabi. Sebaliknya, jikalau anda tidak sanggup memberi jawaban, berarti bahwa agama Islam itu bathil dan Muhammad bukan seorang Nabi.

"Silahkan bertanya wacana apa saja yang kalian inginkan," sahut Khalifah Umar.

"Jelaskan kepada kami wacana induk kunci (gembok) mengancing langit, apakah itu?" Tanya pendeta-pendeta itu, memulai pertanyaan-pertanyaannya. "Terangkan kepada kami wacana adanya sebuah kuburan yang berjalan bersama penghuninya, apakah itu? Tunjukkan kepada kami wacana suatu makhluk yang sanggup memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi ia bukan insan dan bukan jin! Terangkan kepada kami wacana lima jenis makhluk yang sanggup berjalan di permukaan bumi, tetapi makhluk-makhluk itu tidak dilahirkan dari kandungan ibu atau induknya! Beritahukan kepada kami apa yang dikatakan oleh burung puyuh (gemak) disaat ia sedang berkicau! Apakah yang dikatakan oleh ayam jantan dikala ia sedang berkokok! Apakah yang dikatakan oleh kuda disaat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh katak diwaktu ia sedang bersuara? Apakah yang dikatakan oleh keledai disaat ia sedang meringkik? Apakah yang dikatakan oleh burung pipit pada waktu ia sedang berkicau?"

Khalifah Umar menundukkan kepala untuk berpikir sejenak, kemudian berkata, "Bagi Umar, jikalau ia menjawab 'tidak tahu' atas pertanyaan-pertanyaan yang memang tidak diketahui jawabannya, itu bukan suatu hal yang memalukan!''

Mendengar jawaban Khalifah Umar menyerupai itu, pendeta-pendeta Yahudi yang bertanya berdiri melonjak-lonjak kegirangan, sambil berkata, "Sekarang kami bersaksi bahwa Muhammad memang bukan seorang Nabi, dan agama Islam itu ialah bathil!"

Salman Al-Farisi yang dikala itu hadir, segera bangun dan berkata kepada pendeta-pendeta Yahudi itu: "Kalian tunggu sebentar!"

Ia cepat-cepat pergi ke rumah Ali bin Abi Thalib. Setelah bertemu, Salman berkata: "Ya Abal Hasan, selamatkanlah agama Islam!"

Imam Ali r.a. bingung, kemudian bertanya: "Mengapa?"

Salman kemudian menceritakan apa yang sedang dihadapi oleh Khalifah Umar bin Khattab. Imam Ali segera saja berangkat menuju ke rumah Khalifah Umar, berjalan lenggang menggunakan burdah (selembar kain epilog punggung atau leher) peninggalan Rasulullah SAW. Ketika Umar melihat Ali bin Abi Thalib datang, ia bangun dari kawasan duduk kemudian buru-buru memeluknya, sambil berkat,: "Ya Abal Hasan, tiap ada kesulitan besar, engkau selalu kupanggil!"

Setelah berhadap-hadapan dengan para pendeta yang sedang menunggu-nunggu jawaban itu, Ali bin Abi Thalib herkata, "Silahkan kalian bertanya wacana apa saja yang kalian inginkan. Rasulullah SAW sudah mengajarku seribu macam ilmu, dan tiap jenis dari ilmu-ilmu itu memiliki seribu macam cabang ilmu!"

Pendeta-pendeta Yahudi itu kemudian mengulangi pertanyaan-pertanyaan mereka. Sebelum menjawab, Ali bin Abi Thalib berkata, "Aku ingin mengajukan suatu syarat kepada kalian, yaitu jikalau ternyata saya nanti sudah menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian sesuai dengan yang ada di dalam Taurat, kalian supaya bersedia memeluk agama kami dan beriman!" "Ya baik!" jawab mereka.

"Sekarang tanyakanlah satu demi satu," kata Ali bin Abi Thalib.

Mereka mulai bertanya, "Apakah induk kunci (gembok) yang mengancing pintu-pintu langit?"

"Induk kunci itu," jawab Ali bin Abi Thalib, "ialah syirik kepada Allah. Sebab semua hamba Allah, baik pria ataupun wanita, jikalau ia bersyirik kepada Allah, amalnya tidak akan sanggup naik hingga kehadirat Allah!"

Para pendeta Yahudi bertanya lagi, "Anak kunci apakah yang sanggup membuka pintu-pintu langit?"

Ali bin Abi Thalib menjawab, "Anak kunci itu ialah kesaksian (syahadat) bahwa tiada yang kuasa selain Allah dan Muhammad ialah Rasulullah!"

Para pendeta Yahudi itu saling pandang di antara mereka, sambil berkata, "Orang itu benar juga!" Mereka bertanya lebih lanjut, "Terangkanlah kepada kami wacana adanya sebuah kuburan yang sanggup berjalan bersama penghuninya!"

"Kuburan itu ialah ikan hiu (hut) yang menelan Nabi Yunus putera Matta," jawab Ali bin Abi Thalib. "Nabi Yunus AS dibawa keliling ketujuh samudera!"

Pendeta-pendeta itu meneruskan pertanyaannya lagi, "Jelaskan kepada kami wacana makhluk yang sanggup memberi peringatan kepada bangsanya, tetapi makhluk itu bukan insan dan bukan jin!"

Ali bin Abi Thalib menjawab, "Makhluk itu ialah semut Nabi Sulaiman AS putera Nabi Dawud AS, Semut itu berkata kepada kaumnya, 'Hai para semut, masuklah ke dalam kawasan kediaman kalian, semoga tidak diinjak-injak oleh Sulaiman dan pasukan-nya dalam keadaan mereka tidak sadar!"

Para pendeta Yahudi itu meneruskan pertanyaannya, "Beritahukan kepada kami wacana lima jenis makhluk yang berjalan diatas permukaan bumi, tetapi tidak satu pun diantara makhluk-makhluk itu yang dilahirkan dari kandungan ibunya atau induknya!"

Ali bin Abi Thalib menjawab, "Lima makhluk itu ialah, pertama, Adam. Kedua, Hawa. Ketiga, Unta Nabi Shaleh. Keempat, Domba Nabi Ibrahim. Kelima, Tongkat Nabi Musa (yang bermetamorfosis menjadi seekor ular)."

Dua diantara tiga orang pendeta Yahudi itu setelah mendengar jawaban-jawaban serta klarifikasi yang diberikan oleh Imam Ali r.a. kemudian mengatakan, "Kami bersaksi bahwa tiada yang kuasa selain Allah dan Muhammad ialah Rasulullah!"

Tetapi seorang pendeta lainnya, bangun berdiri sambil berkata kepada Ali bin Abi Thalib, "Hai Ali, hati teman-temanku sudah dihinggapi oleh sesuatu yang sama menyerupai kepercayaan dan keyakinan mengenai benarnya agama Islam. Sekarang masih ada satu hal lagi yang ingin kutanyakan kepada anda."

"Tanyakanlah apa saja yang kamu inginkan," sahut Imam Ali.

"Coba terangkan kepadaku wacana sejumlah orang yang pada zaman dahulu sudah mati selama 309 tahun, kemudian dihidupkan kembali oleh Allah. Bagaimana hikayat wacana mereka itu?" Tanya pendeta tadi.

Ali bin Ali Thalib menjawab, "Hai pendeta Yahudi, mereka itu ialah para penghuni gua. Hikayat wacana mereka itu sudah dikisahkan oleh Allah SWT kepada Rasul-Nya. Jika engkau mau, akan kubacakan kisah mereka itu."



Pendeta Yahudi itu menyahut, "Aku sudah banyak mendengar wacana Qur'an kalian itu! Jika engkau memang benar-benar tahu, coba sebutkan nama-nama mereka, nama ayah-ayah mereka, nama kota mereka, nama raja mereka, nama anjing mereka, nama gunung serta gua mereka, dan semua kisah mereka dari awal hingga akhir!"

Ali bin Abi Thalib kemudian membetulkan duduknya, menekuk lutut kedepan perut, kemudian ditopangnya dengan burdah yang diikatkan ke pinggang. Lalu ia berkata, "Hai saudara Yahudi, Muhammad Rasulullah SAW kekasihku telah menceritakan kepadaku, bahwa kisah itu terjadi di negeri Romawi, disebuah kota berjulukan Aphesus, atau disebut juga dengan nama Tharsus. Tetapi nama kota itu pada zaman dahulu ialah Aphesus (Ephese). Baru setelah Islam datang, kota itu berubah nama menjadi Tharsus (Tarse, kini terletak di dalam wilayah Turki). Penduduk negeri itu dahulunya memiliki seorang raja yang baik. Setelah raja itu meninggal dunia, gosip kematiannya didengar oleh seorang raja Persia berjulukan Diqyanius. Ia seorang raja kafir yang amat congkak dan dzalim. Ia tiba menyerbu negeri itu dengan kekuatan pasukannya, dan balasannya berhasil menguasai kota Aphesus. Olehnya kota itu dijadikan ibukota kerajaan, kemudian dibangunlah sebuah Istana."

Baru hingga disitu, pendeta Yahudi yang bertanya itu berdiri, terus bertanya, "Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku bentuk Istana itu, bagaimana serambi dan ruangan-ruangannya!"

Ali bin Abi Thalib menerangkan, "Hai saudara Yahudi, raja itu membangun istana yang sangat megah, terbuat dari kerikil marmer. Panjangnya satu farsakh (+/- 8 km) dan lebarnya pun satu farsakh. Pilar-pilarnya yang berjumlah seribu buah, semuanya terbuat dari emas, dan lampu-lampu yang berjumlah seribu buah, juga semuanya terbuat dari emas. Lampu-lampu itu bergelantungan pada rantai-rantai yang terbuat dari perak. Tiap malam apinya dinyalakan dengan sejenis minyak yang harum baunya. Disebelah timur serambi dibentuk lubang-lubang cahaya sebanyak seratus buah, demikian pula di sebelah baratnya. Sehingga matahari semenjak mulai terbit hingga terbenam selalu sanggup menerangi serambi. Raja itu pun menciptakan sebuah singgasana dari emas. Panjangnya 80 hasta dan lebarnya 40 hasta. Di sebelah kanannya tersedia 80 buah kursi, semuanya terbuat dari emas. Di situlah para hulubalang kerajaan duduk. Disebelah kirinya juga disediakan 80 buah dingklik terbuat dari emas, untuk duduk para pepatih dan penguasa-penguasa tinggi lainnya. Raja duduk di atas singgasana dengan mengenakan mahkota di atas kepala."

Sampai disitu pendeta yang bersangkutan berdiri lagi sambil berkata, "Jika engkau benar-benar tahu, coba terangkan kepadaku dari apakah mahkota itu dibuat?"

"Hai saudara Yahudi," kata Imam Ali menerangkan, "Mahkota raja itu terbuat dari kepingan-kepingan emas, berkaki 9 buah, dan tiap kakinya bertaburan mutiara yang memantulkan cahaya laksana bintang-bintang menerangi kegelapan malam. Raja itu juga memiliki 50 orang pelayan, terdiri dari belum dewasa para hulubalang. Semuanya menggunakan selempang dan baju sutera berwarna merah. Celana mereka juga terbuat dari sutera berwarna hijau. Semuanya dihias dengan gelang-gelang kaki yang sangat indah. Masing-masing diberi tongkat terbuat dari emas. Mereka harus berdiri di belakang raja. Selain mereka, raja juga mengangkat 6 orang, terdiri dari belum dewasa para cendekiawan, untuk dijadikan menteri-menteri atau pembantu-pembantunya. Raja tidak mengambil suatu keputusan apa pun tanpa berunding lebih dulu dengan mereka. Enam orang pembantu itu selalu berada di kanan kiri raja, tiga orang berdiri di sebelah kanan dan yang tiga orang lainnya berdiri di sebelah kiri."

Pendeta yang bertanya itu berdiri lagi, kemudian berkata, "Hai Ali, jikalau yang kamu katakan itu benar, coba sebutkan nama enam orang yang menjadi pembantu-pembantu raja itu!"

Menanggapi hal itu, Imam Ali r.a. menjawab, "Kekasihku Muhammad Rasulullah SAW menceritakan kepadaku, bahwa tiga orang yang berdiri disebelah kanan raja, masing-masing berjulukan Tamlikha, Miksalmina, dan Mikhaslimina. Adapun tiga orang pembantu yang berdiri di sebelah kiri, masing-masing berjulukan Martelius, Casitius dan Sidemius. Raja selalu berunding dengan mereka mengenai segala urusan.

Tiap hari setelah raja duduk dalam serambi istana dikerumuni oleh semua hulubalang dan para punggawa, masuklah tiga orang pelayan menghadap raja. Seorang diantaranya membawa piala emas penuh berisi wewangian murni. Seorang lagi membawa piala perak penuh berisi air sari bunga. Sedang yang seorangnya lagi membawa seekor burung. Orang yang membawa burung ini kemudian mengeluarkan bunyi isyarat, kemudian burung itu terbang di atas piala yang berisi air sari bunga. Burung itu berkecimpung didalamnya dan setelah itu ia mengibas-ngibaskan sayap serta bulunya, hingga sari-bunga itu habis dipercikkan ke semua kawasan sekitarnya.

Kemudian si pembawa burung tadi mengeluarkan bunyi aba-aba lagi. Burung itu terbang pula. Lalu hinggap di atas piala yang berisi wewangian murni. Sambil berkecimpung didalamnya, burung itu mengibas-ngibaskan sayap dan bulunya, hingga wewangian murni yang ada dalam piala itu habis dipercikkan ke kawasan sekitarnya. Pembawa burung itu memberi aba-aba bunyi lagi. Burung itu kemudian terbang dan hinggap di atas mahkota raja, sambil membentangkan kedua sayap yang harum semerbak di atas kepala raja.



Demikianlah raja itu berada di atas singgasana kekuasaan selama tiga puluh tahun. Selama itu ia tidak pernah diserang penyakit apa pun, tidak pernah merasa pusing kepala, sakit perut, demam, berliur, berludah atau pun beringus. Setelah sang raja merasa diri sedemikian besar lengan berkuasa dan sehat, ia mulai congkak, durhaka dan dzalim. Ia mengaku-aku diri sebagai "tuhan" dan tidak mau lagi mengakui adanya Allah SWT.

Raja itu kemudian memanggil orang-orang terkemuka dari rakyatnya. Barang siapa yang taat dan patuh kepadanya, diberi pakaian dan banyak sekali macam hadiah lainnya. Tetapi barang siapa yang tidak mau taat atau tidak bersedia mengikuti kemauannya, ia akan segera dibunuh. Oleh alasannya ialah itu semua orang terpaksa mengiakan kemauannya. Dalam masa yang cukup lama, semua orang patuh kepada raja itu, hingga ia disembah dan dipuja. Mereka tidak lagi memuja dan menyembah Allah SWT.

Pada suatu hari perayaan ulang-tahunnya, raja sedang duduk di atas singgasana mengenakan mahkota di atas kepala, tiba-tiba masuklah seorang hulubalang memberi tahu, bahwa ada balatentara asing masuk menyerbu kedalam wilayah kerajaannya, dengan maksud hendak melancarkan peperangan terhadap raja. Demikian duka dan bingungnya raja itu, hingga tanpa disadari mahkota yang sedang dipakainya jatuh dari kepala. Kemudian raja itu sendiri jatuh terpelanting dari atas singgasana. Salah seorang pembantu yang berdiri di sebelah kanan --seorang cerdas yang berjulukan Tamlikha-- memperhatikan keadaan sang raja dengan sepenuh pikiran. Ia berpikir, kemudian berkata di dalam hati, "Kalau Diqyanius itu benar-benar yang kuasa sebagaimana berdasarkan pengakuannya, tentu ia tidak akan sedih, tidak tidur, tidak buang air kecil atau pun air besar. Itu semua bukanlah sifat-sifat Tuhan.

Enam orang pembantu raja itu tiap hari selalu mengadakan pertemuan di kawasan salah seorang dari mereka secara bergiliran. Pada satu hari tibalah giliran Tamlikha mendapatkan kunjungan lima orang temannya. Mereka berkumpul di rumah Tamlikha untuk makan dan minum, tetapi Tamlikha sendiri tidak ikut makan dan minum. Teman-temannya bertanya, 'Hai Tamlikha, mengapa engkau tidak mau makan dan tidak mau minum?'

'Teman-teman,' sahut Tamlikha, 'hatiku sedang dirisaukan oleh sesuatu yang membuatku tidak ingin makan dan tidak ingin minum, juga tidak ingin tidur.'

Teman-temannya mengejar, 'Apakah yang merisaukan hatimu, hai Tamlikha?'

'Sudah lama saya memikirkan soal langit,' ujar Tamlikha menjelaskan. 'Aku kemudian bertanya pada diriku sendiri,'siapakah yang mengangkatnya ke atas sebagai atap yang senantiasa kondusif dan terpelihara, tanpa gantungan dari atas dan tanpa tiang yang menopangnya dari bawah? Siapakah yang menjalankan matahari dan bulan di langit itu? Siapakah yang menghias langit itu dengan bintang-bintang bertaburan?' Kemudian kupikirkan juga bumi ini, 'Siapakah yang membentang dan menghamparkan-nya di cakrawala? Siapakah yang menahannya dengan gunung-gunung raksasa semoga tidak goyah, tidak goncang dan tidak miring?' Aku juga lama sekali memikirkan diriku sendiri, 'Siapakah yang mengeluarkan saya sebagai bayi dari perut ibuku? Siapakah yang memelihara hidupku dan memberi makan kepadaku? Semuanya itu niscaya ada yang membuat, dan sudah tentu bukan Diqyanius'…"

Teman-teman Tamlikha kemudian bertekuk lutut di hadapannya. Dua kaki Tamlikha diciumi sambil berkata, 'Hai Tamlikha dalam hati kami kini terasa sesuatu menyerupai yang ada di dalam hatimu. Oleh lantaran itu, oke engkau tunjukkan jalan keluar bagi kita semua!'

'Saudara-saudara,' jawab Tamlikha, 'baik saya maupun kalian tidak menemukan logika selain harus lari meninggalkan raja yang dzalim itu, pergi kepada Raja Pencipta Langit dan Bumi!'

'Kami sepakat dengan pendapatmu,' sahut teman-temannya.

Tamlikha kemudian berdiri, terus beranjak pergi untuk menjual buah kurma, dan balasannya berhasil menerima uang sebanyak 3 dirham. Uang itu kemudian diselipkan dalam kantong baju. Lalu berangkat berkendaraan kuda bantu-membantu dengan lima orang temannya.



Setelah berjalan 3 mil jauhnya dari kota, Tamlikha berkata kepada teman-temannya, 'Saudara-saudara, kita kini sudah terlepas dari raja dunia dan dari kekuasaannya. Sekarang turunlah kalian dari kuda dan marilah kita berjalan kaki. Mudah-mudahan Allah akan memudahkan urusan kita serta menawarkan jalan keluar. Mereka turun dari kudanya masing-masing. Lalu berjalan kaki sejauh 7 farsakh, hingga kaki mereka nanah berdarah lantaran tidak biasa berjalan kaki sejauh itu.

Tiba-tiba datanglah seorang penggembala menyambut mereka. Kepada penggembala itu mereka bertanya,'Hai penggembala, apakah engkau memiliki air minum atau susu?'

'Aku memiliki semua yang kalian inginkan,' sahut penggembala itu. 'Tetapi kulihat wajah kalian semuanya menyerupai kaum bangsawan. Aku menduga kalian itu niscaya melarikan diri. Coba beritahukan kepadaku bagaimana dongeng perjalanan kalian itu!'

'Ah…, susahnya orang ini,' jawab mereka. 'Kami sudah memeluk suatu agama, kami dihentikan berdusta. Apakah kami akan selamat jikalau kami menyampaikan yang sebenarnya?' 'Ya,' jawab penggembala itu.

Tamlikha dan teman-temannya kemudian menceritakan semua yang terjadi pada diri mereka. Mendengar dongeng mereka, penggembala itu segera bertekuk lutut di depan mereka, dan sambil menciumi kaki mereka, ia berkata, 'Dalam hatiku kini terasa sesuatu menyerupai yang ada dalam hati kalian. Kalian berhenti sajalah dahulu di sini. Aku hendak mengembalikan kambing-kambing itu kepada pemiliknya. Nanti saya akan segera kembali lagi kepada kalian.'

Tamlikha bersama teman-temannya berhenti. Penggembala itu segera pergi untuk mengembalikan kambing-kambing gembalaannya. Tak lama kemudian ia tiba lagi berjalan kaki, diikuti oleh seekor anjing miliknya."

Waktu dongeng Imam Ali hingga di situ, pendeta Yahudi yang bertanya melonjak berdiri lagi sambil berkata, "Hai Ali, jikalau engkau benar-benar tahu, coba sebutkan apakah warna anjing itu dan siapakah namanya?"

"Hai saudara Yahudi," kata Ali bin Abi Thalib, "Anjing itu berwarna kehitam-hitaman dan berjulukan Qithmir. Ketika enam orang pelarian itu melihat seekor anjing, masing-masing saling berkata kepada temannya, kita khawatir kalau-kalau anjing itu nantinya akan membongkar belakang layar kita! Mereka minta kepada penggembala supaya anjing itu dihalau saja dengan batu.

Anjing itu melihat kepada Tamlikha dan teman-temannya, kemudian duduk di atas dua kaki belakang, menggeliat, dan mengucapkan kata-kata dengan lancar dan terang sekali, 'Hai orang-orang, mengapa kalian hendak mengusirku, padahal saya ini bersaksi tiada yang kuasa selain Allah, tak ada sekutu apa pun bagi-Nya. Biarlah saya menjaga kalian dari musuh, dan dengan berbuat demikian saya mendekatkan diriku kepada Allah SWT.'

Anjing itu balasannya dibiarkan saja. Mereka kemudian pergi. Penggembala tadi mengajak mereka naik ke sebuah bukit. Lalu bersama mereka mendekati sebuah gua."

Pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, bangun lagi dari kawasan duduknya sambil berkata, "Apakah nama gunung itu dan apakah nama gua itu?"

Imam Ali menjelaskan, "Gunung itu berjulukan Naglus dan nama gua itu ialah Washid, atau disebut juga dengan nama Kheram!"

Ali bin Abi Thalib meneruskan ceritanya, "Secara tiba-tiba di depan gua itu tumbuh pepohonan berbuah dan memancur mata-air deras sekali. Mereka makan buah-buahan dan minum air yang tersedia di kawasan itu. Setelah tiba waktu malam, mereka masuk berlindung di dalam gua. Sedang anjing yang semenjak tadi mengikuti mereka, berjaga-jaga duduk sambil menjulurkan dua kaki depan untuk menghalang-halangi pintu gua. Kemudian Allah SWT memerintahkan Malaikat maut supaya mencabut nyawa mereka. Kepada masing-masing orang dari mereka Allah SWT mewakilkan dua Malaikat untuk membalik-balik badan mereka dari kanan ke kiri. Allah kemudian memerintahkan matahari supaya pada dikala terbit condong memancarkan sinarnya ke dalam gua dari arah kanan, dan pada dikala hampir terbenam supaya sinarnya mulai meninggalkan mereka dari arah kiri.

Suatu ketika waktu raja Diqyanius gres saja selesai berpesta ia bertanya wacana enam orang pembantunya. Ia menerima jawaban, bahwa mereka itu melarikan diri. Raja Diqyanius sangat gusar. Bersama 80.000 pasukan berkuda ia cepat-cepat berangkat menyelusuri jejak enam orang pembantu yang melarikan diri. Ia naik ke atas bukit, kemudian mendekati gua. Ia melihat enam orang pembantunya yang melarikan diri itu sedang tidur berbaring di dalam gua. Ia tidak ragu-ragu dan memastikan bahwa enam orang itu benar-benar sedang tidur.

Kepada para pengikutnya ia berkata, 'Kalau saya hendak menghukum mereka, tidak akan kujatuhkan eksekusi yang lebih berat dari perbuatan mereka yang telah menyiksa diri mereka sendiri di dalam gua. Panggillah tukang-tukang kerikil supaya mereka segera tiba ke mari!'

Setelah tukang-tukang kerikil itu tiba, mereka diperintahkan menutup rapat pintu gua dengan batu-batu dan jish (bahan semacam semen). Selesai dikerjakan, raja berkata kepada para pengikutnya, "Katakanlah kepada mereka yang ada di dalam gua, kalau benar-benar mereka itu tidak berdusta supaya minta tolong kepada Tuhan mereka yang ada di langit, semoga mereka dikeluarkan dari kawasan itu.,

Dalam gua tertutup rapat itu, mereka tinggal selama 309 tahun.

Setelah masa yang amat panjang itu lewat, Allah SWT mengembalikan lagi nyawa mereka. Pada dikala matahari sudah mulai memancarkan sinar, mereka merasa seolah-olah gres bangun dari tidurnya masing-masing. Yang seorang berkata kepada yang lainnya, 'Malam tadi kami lupa beribadah kepada Allah, mari kita pergi ke mata air!'

Setelah mereka berada di luar gua, tiba-tiba mereka lihat mata air itu sudah mengering kembali dan pepohonan yang ada pun sudah menjadi kering semuanya. Allah SWT menciptakan mereka mulai merasa lapar. Mereka saling bertanya, 'Siapakah diantara kita ini yang sanggup dan bersedia berangkat ke kota membawa uang untuk sanggup mendapatkan makanan? Tetapi yang akan pergi ke kota nanti supaya hati-hati benar, jangan hingga membeli masakan yang dimasak dengan lemak-babi.'

Tamlikha kemudian berkata, 'Hai saudara-saudara, saya sajalah yang berangkat untuk mendapatkan makanan. Tetapi, hai penggembala, berikanlah bajumu kepadaku dan ambillah bajuku ini!'

Setelah Tamlikha menggunakan baju penggembala, ia berangkat menuju ke kota. Sepanjang jalan ia melewati tempat-tempat yang sama sekali belum pernah dikenalnya, melalui jalan-jalan yang belum pernah diketahui. Setibanya akrab pintu gerbang kota, ia melihat bendera hijau berkibar di angkasa bertuliskan, 'Tiada Tuhan selain Allah dan Isa ialah Roh Allah.'

Tamlikha berhenti sejenak memandang bendera itu sambil mengusap-usap mata, kemudian berkata seorang diri, 'Kusangka saya ini masih tidur!' Setelah agak lama memandang dan mengamat-amati bendera, ia meneruskan perjalanan memasuki kota. Dilihatnya banyak orang sedang membaca Injil. Ia berpapasan dengan orang-orang yang belum pernah dikenal. Setibanya di sebuah pasar ia bertanya kepada seorang penjaja rot, 'Hai tukang roti, apakah nama kota kalian ini?' 'Aphesus,' sahut penjual roti itu.

'Siapakah nama raja kalian?' tanya Tamlikha lagi. 'Abdurrahman,' jawab penjual roti.

'Kalau yang kamu katakan itu benar,' kata Tamlikha, 'urusanku ini sungguh aneh sekali! Ambillah uang ini dan berilah masakan kepadaku!'

Melihat uang itu, penjual roti keheran-heranan. Karena uang yang dibawa Tamlikha itu uang zaman lampau, yang ukurannya lebih besar dan lebih berat."

Pendeta Yahudi yang bertanya itu kemudian berdiri lagi, kemudian berkata kepada Ali bin Abi Thalib, "Hai Ali, kalau benar-benar engkau mengetahui, coba terangkan kepadaku berapa nilai uang lama itu dibanding dengan uang baru!"

Imam Ali menerangkan, "Uang yang dibawa oleh Tamlikha dibanding dengan uang baru, ialah tiap dirham lama sama dengan sepuluh dan dua pertiga dirham baru!"

Imam Ali kemudian melanjutkan ceritanya, "Penjual Roti kemudian berkata kepada Tamlikha, 'Aduhai, alangkah beruntungnya aku! Rupanya engkau gres menemukan harta karun! Berikan sisa uang itu kepadaku! Kalau tidak, engkau akan ku hadapkan kepada raja!'

'Aku tidak menemukan harta karun,' sangkal Tamlikha. 'Uang ini ku sanggup tiga hari yang kemudian dari hasil penjualan buah kurma seharga tiga dirham! Aku kemudian meninggalkan kota lantaran orang-orang semuanya menyembah Diqyanius!'

Penjual roti itu marah. Lalu berkata, 'Apakah setelah engkau menemukan harta karun masih juga tidak rela menyerahkan sisa uangmu itu kepadaku? Lagi pula engkau telah menyebut-nyebut seorang raja durhaka yang mengaku diri sebagai tuhan, padahal raja itu sudah mati lebih dari 300 tahun yang silam! Apakah dengan begitu engkau hendak memperolok-olok aku?'

Tamlikha kemudian ditangkap. Kemudian dibawa pergi menghadap raja. Raja yang gres ini seorang yang sanggup berpikir dan bersikap adil. Raja bertanya kepada orang-orang yang membawa Tamlikha, 'Bagaimana dongeng wacana orang ini?' 'Dia menemukan harta karun,' jawab orang-orang yang membawanya.

Kepada Tamlikha, Raja berkata, 'Engkau tak perlu takut! Nabi Isa AS memerintahkan supaya kami hanya memungut seperlima saja dari harta karun itu. Serahkanlah yang seperlima itu kepadaku, dan selanjutnya engkau akan selamat.'

Tamlikha menjawab, 'Baginda, saya sama sekali tidak menemukan harta karun! Aku ialah penduduk kota ini!'

Raja bertanya sambil keheran-heranan, 'Engkau penduduk kota ini?' 'Ya. Benar,' sahut Tamlikha.

'Adakah orang yang kamu kenal?' tanya raja lagi. 'Ya, ada,' jawab Tamlikha.

'Coba sebutkan siapa namanya,' perintah raja. Tamlikha menyebut nama-nama kurang lebih 1000 orang, tetapi tak ada satu nama pun yang dikenal oleh raja atau oleh orang lain yang hadir mendengarkan. Mereka berkata. 'Ah…, semua itu bukan nama orang-orang yang hidup di zaman kita sekarang. Tetapi, apakah engkau memiliki rumah di kota ini?'

'Ya, tuanku,' jawab Tamlikha. 'Utuslah seorang menyertai aku!'

Raja kemudian memerintahkan beberapa orang menyertai Tamlikha pergi. Oleh Tamlikha mereka diajak menuju ke sebuah rumah yang paling tinggi di kota itu. Setibanya di sana, Tamlikha berkata kepada orang yang mengantarkan, 'Inilah rumahku!'

Pintu rumah itu kemudian diketuk. Keluarlah seorang lelaki yang sudah sangat lanjut usia. Sepasang alis di bawah keningnya sudah sedemikian putih dan mengkerut hampir menutupi mata lantaran sudah terlampau tua. Ia terperanjat ketakutan, kemudian bertanya kepada orang-orang yang datang, 'Kalian ada perlu apa?'

Utusan raja yang menyertai Tamlikha menyahut, 'Orang muda ini mengaku rumah ini ialah rumahnya!'

Orang bau tanah itu marah, memandang kepada Tamlikha. Sambil mengamat-amati ia bertanya, 'Siapa namamu?' 'Aku Tamlikha anak Filistin!'



Orang bau tanah itu kemudian berkata, 'Coba ulangi lagi!' Tamlikha menyebut lagi namanya. Tiba-tiba orang bau tanah itu bertekuk lutut di depan kaki Tamlikha sambil berucap. 'Ini ialah datukku! Demi Allah, ia salah seorang diantara orang-orang yang melarikan diri dari Diqyanius, raja durhaka." Kemudian diteruskannya dengan bunyi haru, 'Ia lari berlindung kepada Yang Maha Perkasa, Pencipta langit dan bumi. Nabi kita, Isa AS, dahulu telah memberitahukan kisah mereka kepada kita dan menyampaikan bahwa mereka itu akan hidup kembali!'

Peristiwa yang terjadi di rumah orang bau tanah itu kemudian dilaporkan kepada raja. Dengan menunggang kuda, raja segera tiba menuju ke kawasan Tamlikha yang sedang berada di rumah orang bau tanah tadi. Setelah melihat Tamlikha, raja segera turun dari kuda. Oleh raja Tamlikha diangkat ke atas pundak, sedangkan orang banyak beramai-ramai menciumi tangan dan kaki Tamlikha sambil bertanya-tanya, 'Hai Tamlikha, bagaimana keadaan teman-temanmu?'

Kepada mereka Tamlikha memberi tahu, bahwa semua temannya masih berada di dalam gua.

Pada masa itu kota Aphesus diurus oleh dua orang ningrat istana. Seorang beragama Islam dan seorang lainnya lagi beragama Nasrani. Dua orang ningrat itu bersama pengikutnya masing-masing pergi membawa Tamlikha menuju ke gua," demikian Imam Ali melanjutkan ceritanya.

"Teman-teman Tamlikha semuanya masih berada di dalam gua itu. Setibanya akrab gua, Tamlikha berkata kepada dua orang ningrat dan para pengikut mereka, 'Aku khawatir kalau hingga teman-temanku mendengar bunyi tapak kuda, atau gemerincingnya senjata. Mereka niscaya menduga Diqyanius tiba dan mereka bakal mati semua. Oleh lantaran itu kalian berhenti saja di sini. Biarlah saya sendiri yang akan menemui dan memberitahu mereka!'

Semua berhenti menunggu dan Tamlikha masuk seorang diri ke dalam gua. Melihat Tamlikha datang, teman-temannya berdiri kegirangan, dan Tamlikha dipeluknya kuat-kuat. Kepada Tamlikha mereka berkata, 'Puji dan syukur bagi Allah yang telah menyelamatkan dirimu dari Diqyanius!'

Tamlikha menukas, 'Ada urusan apa dengan Diqyanius? Tahukah kalian, sudah berapa lamakah kalian tinggal di sini?'

'Kami tinggal sehari atau beberapa hari saja,' jawab mereka.

'Tidak!' sangkal Tamlikha. 'Kalian sudah tinggal di sini selama 309 tahun! Diqyanius sudah lama meninggal dunia! Generasi demi generasi sudah lewat silih berganti, dan penduduk kota itu sudah beriman kepada Allah yang Maha Agung! Mereka kini tiba untuk bertemu dengan kalian!'

Teman-teman Tamlikha menyahut, 'Hai Tamlikha, apakah engkau hendak mengakibatkan kami ini orang-orang yang menggemparkan seluruh jagad?' 'Lantas apa yang kalian inginkan?' Tamlikha balik bertanya.

'Angkatlah tanganmu ke atas dan kami pun akan berbuat menyerupai itu juga,' jawab mereka. Mereka bertujuh semua mengangkat tangan ke atas, kemudian berdoa, 'Ya Allah, dengan kebenaran yang telah Kau perlihatkan kepada kami wacana keanehan-keanehan yang kami alami kini ini, cabutlah kembali nyawa kami tanpa sepengetahuan orang lain!'

Allah SWT mengabulkan permohonan mereka. Lalu memerintahkan Malaikat maut mencabut kembali nyawa mereka. Kemudian Allah SWT melenyapkan pintu gua tanpa bekas. Dua orang ningrat yang menunggu-nunggu segera maju mendekati gua, berputar-putar selama tujuh hari untuk mencari-cari pintunya, tetapi tanpa hasil. Tak sanggup ditemukan lubang atau kanal lainnya ke dalam gua. Pada dikala itu dua orang ningrat tadi menjadi yakin wacana betapa hebatnya kekuasaan Allah SWT. Dua orang ningrat itu memandang semua insiden yang dialami oleh para penghuni gua, sebagai peringatan yang diperlihatkan Allah kepada mereka.

Bangsawan yang beragama Islam kemudian berkata, 'Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah kawasan ibadah di pintu gua itu.'

Sedang ningrat yang beragama Kristen berkata pula, 'Mereka mati dalam keadaan memeluk agamaku! Akan ku dirikan sebuah biara di pintu gua itu.'

Dua orang ningrat itu bertengkar, dan setelah melalui pertikaian senjata, balasannya ningrat Kristen terkalahkan oleh ningrat yang beragama Islam."

Sampai di situ Imam Ali bin Abi Thalib berhenti menceritakan kisah para penghuni gua. Kemudian berkata kepada pendeta Yahudi yang menanyakan kisah itu, "Itulah, hai Yahudi, apa yang telah terjadi dalam kisah mereka. Demi Allah, kini saya hendak bertanya kepadamu, apakah semua yang ku ceritakan itu sesuai dengan apa yang tercantum dalam Taurat kalian?"

Pendeta Yahudi itu menjawab, "Ya Abal Hasan, engkau tidak menambah dan tidak mengurangi, walau satu karakter pun! Sekarang engkau jangan menyebut diriku sebagai orang Yahudi, alasannya ialah saya telah bersaksi bahwa tiada yang kuasa selain Allah dan bahwa Muhammad ialah hamba Allah serta Rasul-Nya. Aku pun bersaksi juga, bahwa engkau orang yang paling berilmu di kalangan umat ini!"

Demikianlah hikayat wacana para penghuni gua (Ashhabul Kahfi), kutipan dari kitab Qishasul Anbiya yang tercantum dalam kitab Fadha 'ilul Khamsah Minas Shihahis Sittah, goresan pena As Sayyid Murtadha Al Huseiniy Al Faruz Aabaad, dalam memperlihatkan banyaknya ilmu pengetahuan yang diperoleh Imam Ali bin Abi Thalib dari Rasul SAW.
Komentar

Tampilkan

Terkini