Rumah Tangga Sakinah Bagi Seorang Wanita

Ridhmedia
24/08/14, 17:31 WIB

Bagi seorang perempuan mukminah, kesepakatan nikah yakni salah satu perwujudan Sunnah Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam dan sarana untuk mencapai keridhaan-Nya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Nikah yakni sunnahku. Barangsiapa yang tidak mengamalkan sunnahku maka bukanlah termasuk golonganku. Menikahlah, lantaran saya akan besar hati dengan banyaknya jumlah kalian di hadapan umat lain di hari kiamat. Barangsiapa yang telah mempunyai modal, hendaklah ia menikah. Dan barangsiapa yang tidak mampu, hendaklah ia berpuasa, lantaran puasa itu penekan hawa nafsunya” (HR. Ibnu Majah).
Jika seseorang meniatkan di awal pernikahannya sebagai satu niat untuk beribadah kepada-Nya, meninggalkan zina, dan mendekatkan diri kepada-Nya; maka dia akan memperoleh pahala sesuai dengan apa yang ia niatkan itu. Sebaliknya, jikalau ia mempunyai niat di awal pernikahannya hanya sekedar untuk mencari harta, pangkat, kedudukan, atau popularitas; maka ia akan mendapat jawaban sesuai dengan apa yang dia niatkan. Bahkan dosa jikalau yang ia niatkan tersebut merupakan maksiat. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya amal perbuatan itu tergantung pada niat dan seseorang hanya akan mendapatkan sesuai dengan apa yang niatkan” (HR. Bukhari dan Muslim)


Tanggung Jawab Istri pada Diri Sendiri
Diantara tanggung jawab istri kepada diri sendiri diantaranya yakni :

1. Menuntut ilmu syar’i

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Menuntut ilmu yakni wajib bagi setiap muslim” (HR. Ibnu Majah)
Yaitu :

- Ilmu wacana prinsip-prinsip ‘aqidah dan keimanan (Rukun Iman)
- Ilmu wacana apa-apa yang diwajibkan dalam rukun Islam, menyerupai syahadat, sholat, zakat, puasa, dan haji.
- Ilmu-ilmu penunjang yang bermanfaat lainnya.
Seorang ibu rumah tangga wajib mengetahui wacana pembatal-pembatal syahadat, wajib mengetahui bagaimana cara thaharah dan sholat yang benar, dan yang lain sebagainya. Tidak boleh terjadi pada seorang ibu bahwa ia tidak mengetahui wacana hukum-hukum haidh, padahal haidh yakni sesuatu yang rutin mendatanginya.

Bagaimana seorang ibu rumah tanga bisa menuntut ilmu di sela-sela kesibukannya mengurus rumah tangga ? Hal yang pertama bahwa ia harus menumbuhkan perasaan butuh dan cinta kepada ilmu. Jika seseorang telah bisa menumbuhkan perasaan itu pada dirinya, maka ia akan memanfaatkan semua kesempatan dimana ia bisa memperoleh ilmu, baik dalam majelis-majelis ilmu atau membaca buku-buku. Dalam seminggu, usahakanlah untuk sanggup bermajelis ilmu minimal satu kali. Bisa ia menghadiri majelis-majelis ilmu secara khusus, atau bermajelis dengan suaminya untuk saling membacakan satu pembahasan dalam buku agama. Selain itu, ia bisa memanfaatkan beberapa waktu luang dengan membaca buku agama ketika kesibukan belum menderanya, contohnya 15 – 20 menit sebelum sholat shubuh;atau 15 – 20 menit sesudah ‘isya’ di ketika bawah umur telah tidur di pembaringannya.

2. Mengamalkan ilmu yang telah diperoleh

Adalah menjadi hal yang mutlak lagi wajib untuk mengamalkan ilmu. Amal yakni buah ilmu. Barangsiapa yang bakir namun tidak beramal, ia laksana tumbuhan yang tidak menawarkan manfaat bagi makhluk hidup di sekitarnya. Ilmu bisa menjadi pembela atau malah jadi peristiwa bagi diri kita sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
“Al-Qur’an itu bisa menjadi pembela bagimu atau menjadi peristiwa bagimu” (HR. Muslim)
Contoh gampang yang bisa kita lakukan yakni ketika kita tahu bagaiamana cara wudhu yang benar dari klarifikasi Ustadz atau hasil membaca buku; maka dengan tidak menunda-nunda kita praktekkan pada diri kita jikalau mau melakukan sholat. Jika kita tahu wacana ancaman syirik, maka dengan segera kita bersihkan diri dan rumah tangga kita dari hal-hal yang berbau syirik menyerupai membuang segala macam jimat, rajah, gambar makhluk hidup, atau benda pusaka keramat peninggalan leluhur (yang tentunya harus dikomunikasikan secara bijaksana dengan suami). Dan yang lain sebagainya.

Tanggung Jawab Istri pada Suami

Tanggung jawab istri kepada suami terkait erat dengan pemenuhan hak-hak suami oleh istri. Harus menjadi satu pemahaman bahwa seorang pria yakni pemimpin bagi wanita. Seorang suami yakni pemimpin bagi istri dan anak-anaknya di rumahnya. Allah swt berfirman : “Kaum pria itu yakni pemimpin bagi kaum wanita, oleh lantaran Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan lantaran mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka. Sebab itu maka perempuan yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh lantaran Allah telah memelihara (mereka)” (QS. An-Nisaa’ : 34).

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah menggambarkan keagungan hak suami yang harus dipenuhi oleh istrinya dengan sabdanya : “Gambaran hak suami yang harus dipenuhi oleh istrinya yakni seandainya pada kulit suaminya itu ada borok (luka), kemudian dia (istri) menjilatinya, maka dia belum benar-benar memenuhi hak suaminya” (HR. Ibnu Abi Syaibah 4/2/303 no. 17407; hasan ).
“Seandainya saya boleh menyuruh seorang insan untuk bersujud kepada insan lainnya, pasti akan saya suruh seorang perempuan untuk bersujud kepada suaminya” (HR. At-Tirmidzi).

Ketaatan istri kepada suaminya merupakan salah satu faktor yang akan membawanya masuk surga. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Jika seorang perempuan mengerjakan sholat lima waktu, berpuasa di bulan Ramadhan, menjaga kemaluannya, dan taat kepada suaminya, maka akan dikatakan kepadanya : ‘Masuklah ke dalam nirwana melalui pintu mana saja yang engkau sukai” (HR. Ibnu Hibban , shahih).

Beberapa kewajiban istri yang harus dipenuhi kepada suaminya antara lain yakni :

1. Patuh kepada perintah suami

Hushain bin Mihshan mengkisahkan : Bahwasannya bibinya pernah mendatangi Nabi shallallaahu ‘alaihi wasalam untuk satu keperluan. Setelah menuntaskan keperluannya, maka Nabi berkata kepadanya : ‘Apakah engkau bersuami ?’. Aku menjawab : ‘Ya’. Beliau melanjutkan : ‘Bagaimana sikapmu terhadapnya ?’. Aku menjawab : ‘Aku tidak pernah membantahnya/menolaknya kecuali pada masalah yang tidak sanggup saya lakukan’. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Maka perhatikanlah sikapmu terhadapnya, lantaran sebenarnya dia (suamimu) yakni nirwana dan nerakamu” (HR. Ahmad).
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah ditanya wacana model perempuan yang paling baik, maka dia menjawab : “Dia dalah seorang perempuan yang patuh ketika suaminya menyuruhnya, menarik ketika suaminya memandangnya, menjaga kemuliaan suami dengan memelihara kehormatannya sendiri, dan mengurus harta suami” (HR. An-Nasa’i ,shahih).

Catatan : Taat ini dengan syarat : Hanya dalam hal yang ma’ruf bukan dalam kemaksiatan.

“Tidak ada ketaatan dalam perbuatan maksiat kepada Allah. Ketaatan hanya boleh dilakukan dalam kebaikan” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka, seorang istri dilarang taat kepada suaminya jikalau ia menyuruh untuk membuka jilbab, menemani seorang pria yang bukan mahram tanpa ada suaminya, berbohong, dan lain-lain. Namun bukan pula berarti ia membatalkan ketaatannya secara keseluruhan. Ia tetap wajib taat pada hal-hal yang mubah dan yang disyari’atkan.

2. Tetap tinggal di rumah dan tidak keluar rumah kecuali sesudah mendapat ijin dari suami.

Allah berfirman : “Dan hendaklah kau tetap tinggal di rumah-rumah kalian dan janganlah kau berhias dan bertingkah laris menyerupai orang-orang Jahiliyyah dahulu” (QS. Al-Ahzab : 33).
Tinggal di dalam rumah yakni aturan asal bagi seorang wanita. Ia dilarang keluar melainkan dengan alasannya yakni dan syarat. Sebabnya yakni lantaran hajat, dan syaratnya yakni ijin dari suami, berpakaian syar’i, tidak menggunakan wangi-wangian, dan yang lainnya (yang akan dijelaskan kemudian).

Untuk hal-hal yang sifatnya rutinitas dimana ia telah mendapatkan ijin dari suami secara umum, maka ia boleh keluar tanpa seijin suaminya (walau meminta ijin tetap lebih baik). Misalnya : keluar rumah untuk belanja di warung, menyapu halaman, dan lainnya.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam telah menjelaskan salah satu alasannya yakni mengapa perempuan tinggal di dalam rumah : “Wanita itu yakni aurat. Apabila ia keluar rumah, maka akan dibanggakan oleh syaithan” (HR. At-Tirmidzi).

Hingga dalam permasalahan ibadah (sholat di masjid), rumah tetap lebih baik bagi seorang wanita, sebagaimana sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam: “Janganlah kalian melarang kaum perempuan pergi ke masjid; akan tetapi sholat di rumah yakni lebih baik bagi mereka” (HR. Abu Dawud)

3. Menerima seruan suami.

Ini hukumnya wajib. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila seorang suami memanggil istrinya ke kawasan tidurnya, namun istrinya tersebut menolak (tanpa udzur yang dibenarkan syari’at) maka para malaikat akan melaknatnya sampai waktu shubuh tiba” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

4. Tidak memasukkan seseorang ke dalam rumah kecuali dengan seijin suami.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda :

“Sesungguhnya kalian (para suami) mempunyai hak yang harus dipenuhi mereka (para istri), biar mereka tidak mengijinkan seorangpun masuk ke pembaringanmu seseorang yang tidak kau sukai” (HR. Muslim).
“Dan janganlah seorang perempuan mengijinkan seseorang masuk ke dalam rumah suaminya sementara dia (suami) ada di sana, kecuali dengan ijin suaminya tersebut” (HR. Muslim).

Larangan ini berlaku untuk orang-orang yang memang suaminya tidak meridhainya. Namun bila orang tersebut termasuk orang-orang yang diridhai – semisal kaum kerabat -, maka ia diperbolehkan menerimanya masuk ke rumahnya dengan tetap menjaga kehormatan dirinya. Jika orang/tamu tersebut pria bukan termasuk mahram (semisal : sobat kerja suami atau tetangga), maka ia diperbolehkan untuk mendapatkan dengan catatan kondusif dari fitnah dan menghindari khalwat (berdua-duaan). Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Janganlah seorang pria berdua-duaan dengan perempuan kecuali bersama mahramnya” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

5. Tidak bersedekah dengan harta suami kecuali mendapat ijin darinya

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Janganlah seorang perempuan menginfakkan sesuatu dari rumah suaminya kecuali seijin suaminya tersebut” (HR. Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan Ibnu Majah)

6. Berterima kasih kepada suami dan tidak mengingkari kebaikannya, serta memperlakukan suami dengan baik.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Allah tidak akan melihat kepada perempuan yang tidak berterima kasih kepada suaminya, padahal ia mustahil lepas dari ketergantungan padanya” (HR. Nasa’i)

Berterima kasih ini tidak hanya sebatas lisan, tapi terwujud pada penampakan rasa senang dan nyaman selama mendampingi suami dan melayani kebutuhannya dan kebutuhan anak-anaknya, tidak mengabaikannya, tidak mengeluh dengan segala kondisi yang dialami bersamanya, dan yang lainnya.

7. Tidak mengungkit-ungkit kebaikannya kepada suami, jikalau kebetulan dia menafkahi suami dan anak-anaknya.

Adakalanya seorang suami diberi cobaan berupa sakit, cacat, atau yang semisalnya sehingga ia tidak bisa memberi nafkah sebagaimana mestinya; yang dengan itu istri menjadi tulang punggung keluarga untuk mencari nafkah. Haram hukumnya mengungkit-ungkit kebaikannya itu. Allah telah berfirman: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kau menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima)” (QS. Al-Baqarah : 264).

8. Selalu menjaga keutuhan rumah tangga dan tidak menuntut cerai tanpa alasan yang dibenarkan oleh syari’at.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Wanita mana saja yang menuntut cerai kepada suaminya tanpa ada problem yang berarti (menurut kacamata syari’at), maka diharamkan baginya wangi anyir surga” (HR. At-Tirmidzi, Abu Dawud, Ibnu Majah , Ahmad).
Dan ingatlah wahai para perempuan bahwa engkau telah Allah jadikan salah satu komplemen dunia. Dan sebaik-baik komplemen dunia yakni perempuan shalihah. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Dunia yakni perhiasan, dan sebaik-baik komplemen dunia yakni perempuan shalihah” (HR. Muslim).

Tanggung Jawab Istri pada Anak

1. Menyusui anak sampai usia dua tahun.

Allah swt berfirman: “Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan” (QS. Al-Baqarah : 233).

2. Mengasuh, memperhatikan, dan memelihara anak dengan nafkah yang diberikan oleh suami.

Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam pernah memerintahkan kepada Hindun radliyallaahu ‘anhaa: “Ambillah dengan baik (dari harta suamimu) sebatas mencukupi keperluanmu dan anakmu” (HR. Bukhari dan Muslim).

3. Mendidik anak dengan pendidikan yang baik dan Islami.

Hal utama yang harus diberikan dan diperhatikan yakni pendidikan agama, alasannya yakni pendidikan ini merupakan dasar yang akan membentuk tingkah laris anak di kemudian hari. Penanaman aqidah tauhid yang berpengaruh yakni mutlak diberikan. Anak harus tahu kewajiban dan kiprah mengapa ia dilahirkan di muka bumi, yaitu untuk beribadah kepada Allah semata tanpa menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Juga dengan penanaman prinsip-prinsip keimanan dalam rukun iman. Kemudian diikuti dengan penanaman kewajiban yang termasuk dalam rukun Islam yang lain menyerupai sholat, zakat, puasa, dan haji. Dari konsep pembangunan anak yang beriman dan berinfak shalih, tentu saja keinginan kita kelak ia menjadi sesuatu yang berharga yang sanggup bermanfaat bagi kita di akhirat. Dan itulah yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam:“Apabila seseorang meninggal dunia maka terputuslah amalnya kecuali tiga hal, yaitu : shadaqah jariyyah, ilmu yang dimanfaatkan, atau anak shalih yang mendoakannya” (HR. Muslim). Wallahu a’lam
Komentar

Tampilkan

Terkini

Peristiwa

+