[] Tersangka masalah provokasi asrama Papua, Veronica Koman, yang ketika ini jadi buronan (DPO) hasilnya buka bunyi sehabis usang bungkam usai ditetapkan jadi tersangka oleh Polda Jatim pada 4 September 2019.
Hari ini, Sabtu (14/6/2019), melalui akun twitternya Veronica Koman memberikan Pers Rilis.
Dalam pers rilis tertulis, Veronica Koman menyebut kasusnya hanya pengalihan informasi dari pokok duduk masalah bergotong-royong yang dihadapi rakyat Papua.
"Saya, Veronica Koman, dengan kesadaran penuh, selama ini menentukan untuk tidak menanggapi yang dituduhkan oleh polisi lewat media massa. Hal ini saya lakukan bukan berarti alasannya yakni semua yang dituduhkan itu benar, namun alasannya yakni saya tidak ingin berpartisipasi dalam upaya pengalihan informasi dari duduk masalah pokok yang bergotong-royong sedang terjadi di Papua," kata Veronica Koman dalam pers rilis tertulis.
Berikut selengkapnya....
PERS RILIS
Saya, Veronica Koman, dengan kesadaran penuh, selama ini menentukan untuk tidak menanggapi yang dituduhkan oleh polisi lewat media massa. Hal ini saya lakukan bukan berarti alasannya yakni semua yang dituduhkan itu benar, namun alasannya yakni saya tidak ingin berpartisipasi dalam upaya pengalihan informasi dari duduk masalah pokok yang bergotong-royong sedang terjadi di Papua.
Kasus kriminalisasi terhadap saya hanyalah satu dari sekian banyak masalah kriminalisasi dan intimidasi besar-besaran yang sedang dialami orang Papua ketika ini. Hal yang jauh dari hingar-bingar. Aspirasi ratusan ribu orang Papua yang turun ke jalan dalam rentang waktu beberapa ahad ini seolah hendak dibentuk menjadi angin lalu.
Pemerintah sentra beserta aparaturnya nampak tidak kompeten dalam menuntaskan konflik berkepanjangan di Papua sampai harus mencari kambing hitam atas apa yang terjadi ketika ini. Cara menyerupai ini sesungguhnya sedang memperdalam luka dan memperuncing konflik Papua.
Saya menolak segala upaya pembunuhan abjad yang sedang ditujukan kepada saya: pengacara resmi Aliansi Mahasiswa Papua (AMP). Kepolisian telah menyalahgunakan wewenangnya dan sudah sangat berlebihan dalam upayanya mengkriminalisasi saya, baik dalam caranya maupun dalam melebih-lebihkan fakta yang ada.
Bahwa betul saya terlambat dalam menunjukkan laporan studi kepada institusi beasiswa, tetapi urusan itu telah selesai per 3 Juni 2019 ketika universitas kawasan saya studi mengirimkan seluruh laporan studi saya kepada institusi beasiswa saya.
Adapun Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Australia pernah mengganggu studi saya usai saya berbicara wacana pelanggaran HAM Papua di program yang diselenggarakan oleh Amnesty International Australia serta gereja-gereja Australia. Para staf KBRI tidak hanya tiba ke program tersebut untuk memotret dan merekam guna mengintimidasi pembicara, tapi saya juga dilaporkan ke institusi beasiswa atas tuduhan mendukung separatisme di program tersebut. Itu juga yang menciptakan korelasi saya dengan institusi beasiswa saya menjadi hirau taacuh dan saya tidak meminta lagi pembiayaan beberapa hal yang seharusnya masih menjadi tanggungan beasiswa.
Bahwa saldo rekening saya dalarn batas nominal yang masuk akal sebagai pengacara yang juga kerap melaksanakan penelitian. Bahwa tentu betul saya menarik uang di Papua ketika saya berkunjung ke Papua, dengan nominal yang sewajarnya untuk biaya hidup sehari-hari. Bahwa saya hanya pernah ke Surabaya sekali dalam seumur hidup saya, selama 4 hari, yaitu ketika pendampingan agresi 1 Desember 2018 bagi klien saya AMP. Saya tidak ingat jikalau pernah menarik uang di Surabaya. Apabila saya sempat pun ketika itu, saya yakin maksimal hanya sejumlah batas sekali penarikan ATM untuk biaya makan dan transportasi sendiri.
Saya menganggap investigasi rekening langsung saya tidak ada sangkut pautnya dengan tuduhan pasal yang disangkakan ke saya sehingga ini yakni bentuk penyalahgunaan wewenang kepolisian, apalagi kemudian menyampaikannya ke media massa dengan narasi yang teramat berlebihan.
Waktu dan energi yang negara ini alokasikan untuk memberikan propaganda negatif selalu jauh lebih besar ketimbang yang betul-betul dipakai untuk menilik dan menuntaskan pelanggaran HAM yang ketika ini terjadi di Papua. Secara terperinci benderang, kita melihat metode 'shoot the messenger' sedang dilakukan pegawanegeri untuk masalah ini. Ketika tidak bisa dan tidak mau menilik pelanggaran/kejahatan HAM yang ada, maka seranglah saja si penyampai pesan itu.
Papua yakni salah satu wilayah yang paling ditutup di dunia ini. Dan kembali saya tegaskan, kriminalisasi terhadap saya yakni rangkaian dari upaya negara untuk terus membungkam informasi yang keluar dari Papua.
14 September 2019
Veronica Koman
— Veronica Koman (@VeronicaKoman) September 14, 2019