RIDHMEDIA - Visi pendidikan di bawah Menteri Pendidikan serta Kebudayaan (Mendikbud) baru, Nadiem Makarim, buat mencetak lulusan sekolah yang andal memenuhi kebutuhan dunia usaha, membuat cemas sebagian orangtua murid.
Mereka khawatir bakal ada perubahan kurikulum secara masif demi menopang target besar pemerintah menyiapkan angkatan kerja baru.
Hingga kini, Nadiem masih menyusun program kerja nyatanya yang diklaim bakal ditopang penggunaan teknologi terkini.
Namun, secara umum, pemerintah menyebut perubahan kebijakan besar itu cuma bakal berdampak pada sekolah menengah kejuruan.
Wulan, warga Tangerang, Banten, menyebut, anaknya —yang kini berstatus siswa sekolah dasar— kehilangan banyak waktu bermain setelah pihak sekolah menerapkan Kurikulum 2013 (K13), dua tahun lalu.
Anak Wulan menempuh pendidikan dasar di sekolah berbasis alam serta aktivitas luar ruangan.
Saat anaknya naik kelas empat, pihak sekolah memutuskan menerapkan kurikulum berbasis tematik yang sebenarnya sudah dijalankan di sekolah negeri sejak 2013.
"Dari kelas satu sampai tiga, tidak ada pelajaran formal, baru kelas empat dia menjalani ujian," kata Wulan ketika dihubungi, Selasa (29/10/2019).
"Sekarang, beban akademiknya tinggi. saya perlu memasukkannya ke layanan bimbingan belajar. jika melihat materi ujian nasional, saya khawatir dia tidak bisa mengejar," ujarnya.
Wulan mengaku kini khawatir pada pernyataan Nadiem tentang orientasi pendidikan yang bakal menyasar pasar tenaga kerja.
dia cemas anaknya bakal kembali menghadapi perubahan kurikulum serta cuma bakal dididik menjadi generasi yang terpatok pada pekerjaan formal.
"Apakah anak-anak memang bakal diarahkan buat bekerja secara formal? Kurikulum perlu mengakomodasi kecerdesan setiap anak yang berbeda, kalau matematika bukan buat setiap orang. Bagaimana anak yang berbakat dalam bidang seni? saya khawatir mimpi mereka bakal dimatikan kurikulum yang berpatokan pada kerja," kata Wulan.
Dalam sejumlah kesempatan di awal kinerjanya akhir Oktober ini, Nadiem menyebut dua fokus kinerjanya ke depan.
Salah satunya, penyelarasan kurikulum buat mempersiapkan peserta didik menghadapi dunia kerja.
Fokusnya yang lain yaitu penerapan teknologi buat memperkuat soft skill peserta didik.
Namun, anggota Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah, Itje Chodijah, menilai, kurikulum tidak perlu diubah buat membentuk angkatan kerja yang andal.
Menurutnya, secara konsep serta filosofis, K13 sudah memuat visi tersebut.
"K13 sebenarnya sudah mengarah ke sana. Yang perlu dipikirkan yaitu bagaimana guru mampu menerapkannya secara efektif di kelas sehingga siswa terdampak. Sebelumnya ini dilakukan pada Tahap yang sangat teknis. jika dunia kerja butuh tukang patri, sekolah siapkan tukang patri," kata Itje via telepon.
"Dunia kerja butuh orang yang mempunyai soft skill serta kemampuan berpikir kritis. Ini yang perlu digarap dalam jenjang pendidikan apapun," tambahnya.
Kalaupun perubahan kurikulum nantinya bakal diterapkan, Ketua Forum Guru Independen Indonesia, Tetty Sulastri, menilai, pemberlakukannya cuma buat sekolah menengah kejuruan (SMK).
Sejak awal pembentukannya, kata Tetty, cuma SMK yang diharapkan meluluskan peserta didik yang siap kerja tanpa perlu lewat jenjang universitas.
"Kurikulum SMA kan memang tidak mengarah ke sana, apakah perlu diubah kurikulumnya? Apakah anak SMA yang masih perlu melaju ke pendidikan tinggi perlu sudah dikenalkan ke dunia kerja?" ujar Tetty.
Sembilan hari usai pelantikannya, Nadiem urung mengumumkan langkah yang bakal diambilnya buat dunia pendidikan.
Selama 100 hari kerja pertamanya, ia berencana menyaring masukan dari setiap pihak yang berkepentingan.
Bagaimanapun, kebijakan pendidikan yang bakal diambil Nadiem diklaim tidak bakal berbeda jauh dengan pendahulunya, Muhadjir Effendy.
Deputi Pendidikan serta Agama di Kementerian Koordinasi Pembangunan Manusia serta Kebudayaan, Agus Sartono, menyebut, perbaikan kualitas tenaga kerja di lembaga pendidikan merujuk ke SMK.
Badan Pusat Statistik mencatat, dari total 6,8 juta pengangguran per Februari 2018, mayoritas di antaranya yaitu lulusan SMK.
"Ketidaksesuaian lulusan SMK serta dunia kerja didasarkan pada kesempatan magang yang kurang. Kunci supaya sesuai, mereka tidak cuma diajari teori tapi kesempatan mengetahui kenyataan di dunia kerja. Kurikulumnya juga dibenahi oleh pengguna lulusan serta kementerian. Anak-anak dididik, lalu magang. Tanpa magang, mereka bakal gamang ketika bekerja," tutur Agus.
Ia berkata, rencana jangka panjang pemerintah yaitu menyederhanakan kurikulum SMK. tidak cuma itu, dalam lima tahun ke depan sekitar 5.000 SMK ditargetkan terlibat dalam program magang yang digagas pemerintah serta dunia usaha.
"SMK belum menjadi pilihan utama karna akses magang kurang sehingga banyak lulusan menganggur. Akhirnya muncul lulusan SMK sulit mendapatkan pekerjaan. Lingkaran setan seperti itu perlu diperbaiki. supaya lambat laun orang tidak mengejar gelar tapi peluang pekerjaan. Tujuan akhir sekolah serta kuliah yaitu mendapat pekerjaan, bukan sekedar gelar," kata Agus.
Pada tahun 2020, Kemendikbud bakal mendapat anggaran sebesar Rp 35,7 triliun. Bukan cuma soal kurikulum, para praktisi pendidikan menilai Nadiem perlu menilik soal keterjangkauan pendidikan hingga kualitas serta kesejahteraan guru. [mc]