RIDHMEDIA - Kementerian Keuangan menetapkan rencana penarikan utang melalui penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) secara bruto sebesar Rp 735,52 triliun pada tahun 2020.
Angka tersebut lebih kecil dari target penerbitan SBN bruto tahun 2019 yang awalnya sebesar Rp 825,7 triliun. Bahkan, hingga 5 Desember lalu, total realisasi penerbitan SBN bruto di tahun ini telah mencapai Rp 903,4 triliun.
Penerbitan SBN bruto sebagai sumber pembiayaan untuk Amggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020. Penerbitan terdiri dari surat utang domestik dengan porsi 77,96%, meliputi pinjaman dalam negeri dan SBN rupiah. Serta surat utang valas dengan porsi 22,04%, meliputi pinjaman luar negeri dan SBN valas.
Direktur Jenderal (Dirjen) Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Luky Alfirman menjelaskan, target penerbitan SBN bruto tahun depan yang lebih kecil dari tahun 2019 sejalan dengan penetapan defisit APBN yang juga lebih rendah.
Seperti yang diketahui, pemerintah menetapkan defisit APBN 2020 sebesar Rp 307,2 triliun atau 1,76% dari produk domestik bruto (PDB). Target tersebut lebih kecil dari outlook defisit APBN 2019 yang mencapai 2,2% PDB.
Untuk membiayai defisit anggaran itu, pemerintah juga telah mematok penerbitan SBN secara neto tahun depan ditetapkan sebesar Rp 389 triliun.
“SBN bruto mengecil karena defisit kita juga mengecil. Kita masih work-out sesuai dengan defisit 1,76% di APBN,” tutur Luky saat ditemui, Senin (16/12).
Selain target defisit anggaran yang lebih kecil, Luky mengatakan, nilai surat utang jatuh tempo juga sudah dikendalikan sehingga tidak terlampau tinggi di tahun depan.
Dengan target penerbitan SBN bruto Rp 735,52 triliun dan SBN neto Rp 389 triliun, maka jumlah SBN jatuh tempo diperkirakan berkisar Rp 346,5 triliun.
Luky menjelaskan, target penerbitan SBN bruto yang lebih kecil juga menjadi kesempatan bagi pemerintah untuk menciptakan pasar yang lebih baik dengan harga surat utang yang lebih rendah.
“Dengan penerbitan yang lebih kecil artinya kan suplai juga makin sedikit. Itu kesempatan kita juga untuk bisa membuat market lebih baik, menekan harga,” tandasnya.
Selain menarik utang melalui penerbitan SBN, pemerintah juga menarik pinjaman yang secara bruto mencapai Rp 51,35 triliun untuk tahun 2020.
Pinjaman terdiri dari pinjaman luar negeri yang meliputi pinjaman proyek sebesar Rp 26,75 triliun dan pinjaman program sebesar Rp 21,6 triliun. Sementara, pinjaman dalam negeri relatif kecil yaitu hanya sekitar Rp 2,5 triliun-Rp 3 triliun.
Namun, Luky menjelaskan, pinjaman secara neto ditetapkan sebesar minus Rp 37,5 triliun lantaran adanya pinjaman yang jatuh tempo. [kci]
Angka tersebut lebih kecil dari target penerbitan SBN bruto tahun 2019 yang awalnya sebesar Rp 825,7 triliun. Bahkan, hingga 5 Desember lalu, total realisasi penerbitan SBN bruto di tahun ini telah mencapai Rp 903,4 triliun.
Penerbitan SBN bruto sebagai sumber pembiayaan untuk Amggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020. Penerbitan terdiri dari surat utang domestik dengan porsi 77,96%, meliputi pinjaman dalam negeri dan SBN rupiah. Serta surat utang valas dengan porsi 22,04%, meliputi pinjaman luar negeri dan SBN valas.
Direktur Jenderal (Dirjen) Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Luky Alfirman menjelaskan, target penerbitan SBN bruto tahun depan yang lebih kecil dari tahun 2019 sejalan dengan penetapan defisit APBN yang juga lebih rendah.
Seperti yang diketahui, pemerintah menetapkan defisit APBN 2020 sebesar Rp 307,2 triliun atau 1,76% dari produk domestik bruto (PDB). Target tersebut lebih kecil dari outlook defisit APBN 2019 yang mencapai 2,2% PDB.
Untuk membiayai defisit anggaran itu, pemerintah juga telah mematok penerbitan SBN secara neto tahun depan ditetapkan sebesar Rp 389 triliun.
“SBN bruto mengecil karena defisit kita juga mengecil. Kita masih work-out sesuai dengan defisit 1,76% di APBN,” tutur Luky saat ditemui, Senin (16/12).
Selain target defisit anggaran yang lebih kecil, Luky mengatakan, nilai surat utang jatuh tempo juga sudah dikendalikan sehingga tidak terlampau tinggi di tahun depan.
Dengan target penerbitan SBN bruto Rp 735,52 triliun dan SBN neto Rp 389 triliun, maka jumlah SBN jatuh tempo diperkirakan berkisar Rp 346,5 triliun.
Luky menjelaskan, target penerbitan SBN bruto yang lebih kecil juga menjadi kesempatan bagi pemerintah untuk menciptakan pasar yang lebih baik dengan harga surat utang yang lebih rendah.
“Dengan penerbitan yang lebih kecil artinya kan suplai juga makin sedikit. Itu kesempatan kita juga untuk bisa membuat market lebih baik, menekan harga,” tandasnya.
Selain menarik utang melalui penerbitan SBN, pemerintah juga menarik pinjaman yang secara bruto mencapai Rp 51,35 triliun untuk tahun 2020.
Pinjaman terdiri dari pinjaman luar negeri yang meliputi pinjaman proyek sebesar Rp 26,75 triliun dan pinjaman program sebesar Rp 21,6 triliun. Sementara, pinjaman dalam negeri relatif kecil yaitu hanya sekitar Rp 2,5 triliun-Rp 3 triliun.
Namun, Luky menjelaskan, pinjaman secara neto ditetapkan sebesar minus Rp 37,5 triliun lantaran adanya pinjaman yang jatuh tempo. [kci]