RIDHMEDIA - Wacana mengembalikan pemilihan presiden dari langsung oleh masyarakat menjadi tidak langsung melalui Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) mendapat penolakan dari para elite politik.
Berikut pandangan sejumlah elite partai politik menanggapi wacana pemilihan presiden melalui MPR:
1. PKS
Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera menegaskan, mengembalikan pemilihan presiden ke MPR mengkhianati reformasi 1998.
"Reformasi 1998, kita sepakat kedaulatan rakyat dilaksanakan langsung. Dan ini menghasilkan kepemimpinan nasional yang kuat. Karena mendapat mandat langsung dari rakyat," ujar anggota Komisi II DPR RI ini kepada Tribunnews.com, Minggu (1/12/2019).
Menurut dia, kembalinya pemilihan Presiden oleh MPR dapat melemahkan legitimasi Presiden.
"Plus rentan diganggu oleh MPR," jelas mantan Wakil Ketua BPN Prabowo Subianto-Sandiaga Uno ini.
Dia menegaskan, pemilihan presiden harus tetap langsung oleh rakyat.
Hanya saja memang harus dilakukan evaluasi dan penyempurnaan agar semakin baik sistem pemilihan presiden di Indonesia.
2. Partai Demokrat
Hal senada juga dissampaikan Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Hinca Panjaitan kepada Tribunnews.com, Minggu (1/12/2019).
"Ingatlah masa dimana kita menginginkan demokrasi yang sempat samar dan dirasa hambar oleh rakyat. Ketika pekik dan jeritan suara kita menggema untuk meminta hak memilih secara langsung calon pemimpin tanah air ini," ujar anggota DPR RI ini.
Dia tidak ingin, bangsa ini seolah lupa betapa sakitnya berpolitik, jika peta pertarungan hanya tersaji di meja para elit.
"Jika suara-suara sumbang untuk membalikan kembali pemilihan umum ada ditangan MPR, maka jelas sekali kita sedang memaksa rakyat untuk hidup dalam kurungan imajinasi mereka lagi," tegasnya.
Akhirnya, kata dia, rakyat hanya mampu berandai setelah kesempatan mereka menjadi sebuah bangkai.
Hinca memahami, betapa mahalnya ongkos politik. Dan betapa sulitnya menyentuh sebanyak-banyaknya calon konstituen dengan biaya yang sedikit.
Namun dia tegaskan, banyak cara untuk memperbaiki itu dan bukan mengembalikan sistem ke pemilihan tidak langsung melalui MPR RI.
"Bisa melalui sistem pembiayaan parpol maupun memperkuat penegakan hukum dlm pengungkapan praktik money politic," jelasnya.
Kembali lagi mengenai adanya wacana pemilihan presiden oleh MPR. Mengapa pemilu disebut sebagai pesta demokrasi?
Itu kata dia, karena ada perayaan disana. Perayaan atas hak yang dipakai rakyat untuk memilih dan perayaan atas hasil kompetisi para kontestan.
"Jika pemilihan presiden kembali dilakukan oleh MPR, lantas siapa yang berpesta? Tidak ada yang pantas dirayakan, ketika banyak hak yang dirampas. Jelas sekali, ini adalah sebuah kemunduran yang akan kita sesali kelak," ucapnya.
Untuk itu ia dia mengajak, politisi atau tokoh-tokoh yang menginginkan adanya pemilihan presiden oleh MPR ini kembali berpikir dan mulailah belajar untuk tidak melulu membuat rakyat marah.
"Teman-teman politikus atau tokoh-tokoh yang menginginkan adanya pemilihan presiden oleh MPR ini kembali berpikir dan mulailah belajar untuk tidak melulu membuat rakyat marah. Ayolah," ucapnya.
"Di saat kita dituntut untuk terus menerus melakukan pendidikan politik kepada publik, di saat yang sama pula kita seperti para pendidik yang tidak terdidik. Bila ini terus menjadi polemik, berhati-hatilah," jelasnya.
Ketua DPP Demokrat Jansen Setindaon menambahkan, hak rakyat untuk memilih langsung pemimpinnya ini tidak boleh dicabut dan dibatalkan.
Dalam tataran praktek, Dia menjelaskan, kalau Presiden kembali dipilih MPR, maka yang menentukan itu hanya sembilan Ketua Umum Partai di parlemen saja.
"Masak negeri berpenduduk 260 juta ini yang menentukan Presidennya hanya sembilan orang saja," tegas Jansen Sitindaon.
Memilih langsung Presiden, dia mengingatkan, salah satu hak politik yang hilang di era Orde Baru.
"Masak kita mau mundur kebelakang lagi. Kalau pemilihan langsung ini ada kekurangannya ya kita perbaiki. Bukan "gebyah uyah" dikembalikan ke MPR," jelasnya.
Ia balik bertanya, apakah ada jaminan kalau Presiden dipilih oleh MPR, pasti akan bersih dari money politics?
"Kalau pemilu langsung dianggap membuat keadaan jadi panas seperti Pilpres kemarin, President Thresholdnya yang dikurangi sehingga bisa muncul banyak calon Presiden," katanya.
Selain masyarakat jadi punya banyak alternatif pilihan, juga tidak akan terjadi pembelahan dua kelompok secara ekstrim seperti Pilpres 2019 lalu.
"Selain itu, sistem pemilunya juga kembali dipisah. Bukan seperti kemarin dimana legislatif dan pilpres dibuat bareng. Satu jenis pemilu saja sudah buat panas, apalagi dua jenis pemilu digabung," jelasnya.
"Jadi sistem yang membuat panas ini yang kita perbaiki. Jadi bukan gebyah-uyah mengembalikan kedaulatan rakyat memilih Presiden ini ke tangan MPR. Kami Demokrat dengan tegas menolak itu," tegasnya.
3. PPP
Sekretaris Fraksi PPP di DPR RI Achmad Baidowi (Awiek) mengatakan pemilihan langsung oleh rakyat layak untuk dipertahankan ketimbang kembali ke pemilihan presiden melalui MPR RI.
Meskipun masih ada kekurangan yang harus disempurnakan dalam pemilihan presiden oleh rakyat.
"Yang saat ini sudah bagus, bisa dipertahankan, tinggal dievaluasi pada bagian mana yang perlu dievaluasi agar pelaksanaannya efektif dan efisien," ujar Wasekjen DPP PPP ini kepada Tribunnews.com, Jumat (29/11/2019).
Namun kata anggota DPR RI ini, tentu sebagai anggota parlemen dalam posisi menampung setiap aspirasi yang berkembang di masyarakat.
Karena konstitusi itu diatur untuk merspons dinamika sosial politik yang berkembang.
Hanya saja memang sebaiknya berhati-hati untuk menentukan sistem pemilihan presiden dan harus melihat semangat yang ada dalam penyusunan amandemen UUD 1945 waktu itu.
"Seiring dengan semangat reformasi, keinginan untuk melakukan demokratisasi menjadi sangat penting. Kami tentu harus mendengarkan argumentasi dari banyak pihak," jelasnya.
4. Pengamat
Pengamat politik dari Universitas Paramadina Djayadi Hanan menegaskan mengembalikan pemilihan presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bertentangan dengan semangat reformasi.
Selain juga pemilihan presiden oleh MPR berarti mengubah sistem pemerintahan dari presidensial murni menjadi parlementer atau semi parlementer.
Penerapan sistem tersebut di era Orde Baru membawa Indonesia ke sistem otoriter yang berujung pada krisis sosial, ekonomi, dan politik tahun 1998.
"Amanat reformasi antara lain adalah membatasi kekuasaan presiden dan memperkuat sistem presidensial. Jadi pemilihan presiden oleh MPR itu bertentangan dengan semangat reformasi," tegas Djayadi Hanan kepada Tribunnews.com, Jumat (29/11/2019).
Menurut dia, pemilihan presiden oleh MPR RI itu menyerahkan kedaulatan rakyat kepada hanya sekelompok elit politik.
"Lebih parah lagi di tengah oligarki partai yang masih terus marak, maka pemilihan presiden oleh MPR membuatnya menjadi urusan segelintir elit penguasa partai," jelasnya.
Di tengah lemahnya ideologi partai dan kecenderungan partai untuk berkolusi satu sama lain, dia menilai, pemilihan presiden oleh MPR akan membuka jalan bagi pelanggengan kekuasaan politik oleh kelompok elit dan bisa membawa ke sistem otoriter di masa depan.
Pemilihan presiden oleh MPR juga memungkinkan munculnya pemegang kekuasaan yang tidak dikehendaki rakyat, hanya yang dikehendaki elit saja.
Lebih jauh dia tegaskan, pemilihan presiden oleh MPR itu bertentangan dengan perkembangan sosial, politik dan ekonomi masyarakat yang makin maju dan moderen.
"Pemilihan presiden oleh MPR itu bertentangan dengan kemajuan masyarakat," jelasnya.
Ia mengutip data riset opini publik sejak tahun 1999 hingga 2019 menunjukkan, lebih dari 70 persen masyarakat Indonesia mendukung model demokrasi dengan pemilihan langsung yang selama ini telah dipraktekkan.
"Pemilihan presiden oleh MPR itu tidak sejalan aspirasi rakyat soal demokrasi langsung," tegasnya.
Terakhir kata dia, pemilihan presiden oleh MPR hanya akan menguntungkan orang yang berambisi berkuasa tapi merasa rakyat tidak akan memilihnya melalui pemilihan langsung.
"Lagi lagi potensial menyuburkan oligarki dan dinasti politik yang bertentangan dengan semangat reformasi dan demokrasi," jelasnya.
Sebelumnya, Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siradj, menyampaikan usulan agar pemilihan presiden dan wakil presiden kembali dilakukan oleh MPR.
Hal tersebut disampaikan oleh Said Aqil kepada pimpinan MPR di kantor PBNU, Jln Kramat Raya, Jakarta Pusat, Rabu (27/11/2019). Saiq Aqil mengatakan bahwa usulan tersebut merupakan usulan Munas NU 2012 di Pesantren Kempek, Cirebon, Jawa Barat.
"Tentang pemilihan presiden kembali ke MPR, itu keputusan Munas NU di Kempek Cirebon 2012," ujar Said Aqil di kantor PBNU, Jln Kramat Raya, Jakarta Pusat, Rabu (27/11/2019).
Menurut Said Aqil, keputusan tersebut diambil melalui musyawarah para kiai NU. Pertimbangan NU memberikan usulan itu karena besarnya biaya yang ditanggung akibat pemilihan presiden secara langsung terutama ongkos sosial.
Dirinya menyontohkan perselisihan yang terjadi saat Pilpres 2019 lalu. Said Aqil mengatakan tidak seharusnya terjadi pertikaian seperti itu lagi.
"Kiai-kiai sepuh, waktu ada Kiai Sahal pas masih hidup, Kiai Mustofa Bisri, menimbang mudharat dan manfaat, pilpres langsung itu high cost, terutama cost sosial," tutur Said Aqil.
"Kemarin baru saja betapa keadaan kita mendidih, panas, sangat mengkhawatirkan. Ya untung gak ada apa-apa. Tapi apakah lima tahun harus kaya gitu?" tambah Said Aqil.
Menurutnya keputusan ini diambil demi persatuan bangsa. Dirinya memastikan usulan NU tidak terkait dengan kepentingan politik.
"Itu suara-suara para kiai pesatren yang semua demi bangsa demi persatuan. Gak ada kepentingan politik praktis nggak," pungkas Said Aqil.[tnc]
Berikut pandangan sejumlah elite partai politik menanggapi wacana pemilihan presiden melalui MPR:
1. PKS
Ketua DPP Partai Keadilan Sejahtera (PKS) Mardani Ali Sera menegaskan, mengembalikan pemilihan presiden ke MPR mengkhianati reformasi 1998.
"Reformasi 1998, kita sepakat kedaulatan rakyat dilaksanakan langsung. Dan ini menghasilkan kepemimpinan nasional yang kuat. Karena mendapat mandat langsung dari rakyat," ujar anggota Komisi II DPR RI ini kepada Tribunnews.com, Minggu (1/12/2019).
Menurut dia, kembalinya pemilihan Presiden oleh MPR dapat melemahkan legitimasi Presiden.
"Plus rentan diganggu oleh MPR," jelas mantan Wakil Ketua BPN Prabowo Subianto-Sandiaga Uno ini.
Dia menegaskan, pemilihan presiden harus tetap langsung oleh rakyat.
Hanya saja memang harus dilakukan evaluasi dan penyempurnaan agar semakin baik sistem pemilihan presiden di Indonesia.
2. Partai Demokrat
Hal senada juga dissampaikan Sekretaris Jenderal Partai Demokrat Hinca Panjaitan kepada Tribunnews.com, Minggu (1/12/2019).
"Ingatlah masa dimana kita menginginkan demokrasi yang sempat samar dan dirasa hambar oleh rakyat. Ketika pekik dan jeritan suara kita menggema untuk meminta hak memilih secara langsung calon pemimpin tanah air ini," ujar anggota DPR RI ini.
Dia tidak ingin, bangsa ini seolah lupa betapa sakitnya berpolitik, jika peta pertarungan hanya tersaji di meja para elit.
"Jika suara-suara sumbang untuk membalikan kembali pemilihan umum ada ditangan MPR, maka jelas sekali kita sedang memaksa rakyat untuk hidup dalam kurungan imajinasi mereka lagi," tegasnya.
Akhirnya, kata dia, rakyat hanya mampu berandai setelah kesempatan mereka menjadi sebuah bangkai.
Hinca memahami, betapa mahalnya ongkos politik. Dan betapa sulitnya menyentuh sebanyak-banyaknya calon konstituen dengan biaya yang sedikit.
Namun dia tegaskan, banyak cara untuk memperbaiki itu dan bukan mengembalikan sistem ke pemilihan tidak langsung melalui MPR RI.
"Bisa melalui sistem pembiayaan parpol maupun memperkuat penegakan hukum dlm pengungkapan praktik money politic," jelasnya.
Kembali lagi mengenai adanya wacana pemilihan presiden oleh MPR. Mengapa pemilu disebut sebagai pesta demokrasi?
Itu kata dia, karena ada perayaan disana. Perayaan atas hak yang dipakai rakyat untuk memilih dan perayaan atas hasil kompetisi para kontestan.
"Jika pemilihan presiden kembali dilakukan oleh MPR, lantas siapa yang berpesta? Tidak ada yang pantas dirayakan, ketika banyak hak yang dirampas. Jelas sekali, ini adalah sebuah kemunduran yang akan kita sesali kelak," ucapnya.
Untuk itu ia dia mengajak, politisi atau tokoh-tokoh yang menginginkan adanya pemilihan presiden oleh MPR ini kembali berpikir dan mulailah belajar untuk tidak melulu membuat rakyat marah.
"Teman-teman politikus atau tokoh-tokoh yang menginginkan adanya pemilihan presiden oleh MPR ini kembali berpikir dan mulailah belajar untuk tidak melulu membuat rakyat marah. Ayolah," ucapnya.
"Di saat kita dituntut untuk terus menerus melakukan pendidikan politik kepada publik, di saat yang sama pula kita seperti para pendidik yang tidak terdidik. Bila ini terus menjadi polemik, berhati-hatilah," jelasnya.
Ketua DPP Demokrat Jansen Setindaon menambahkan, hak rakyat untuk memilih langsung pemimpinnya ini tidak boleh dicabut dan dibatalkan.
Dalam tataran praktek, Dia menjelaskan, kalau Presiden kembali dipilih MPR, maka yang menentukan itu hanya sembilan Ketua Umum Partai di parlemen saja.
"Masak negeri berpenduduk 260 juta ini yang menentukan Presidennya hanya sembilan orang saja," tegas Jansen Sitindaon.
Memilih langsung Presiden, dia mengingatkan, salah satu hak politik yang hilang di era Orde Baru.
"Masak kita mau mundur kebelakang lagi. Kalau pemilihan langsung ini ada kekurangannya ya kita perbaiki. Bukan "gebyah uyah" dikembalikan ke MPR," jelasnya.
Ia balik bertanya, apakah ada jaminan kalau Presiden dipilih oleh MPR, pasti akan bersih dari money politics?
"Kalau pemilu langsung dianggap membuat keadaan jadi panas seperti Pilpres kemarin, President Thresholdnya yang dikurangi sehingga bisa muncul banyak calon Presiden," katanya.
Selain masyarakat jadi punya banyak alternatif pilihan, juga tidak akan terjadi pembelahan dua kelompok secara ekstrim seperti Pilpres 2019 lalu.
"Selain itu, sistem pemilunya juga kembali dipisah. Bukan seperti kemarin dimana legislatif dan pilpres dibuat bareng. Satu jenis pemilu saja sudah buat panas, apalagi dua jenis pemilu digabung," jelasnya.
"Jadi sistem yang membuat panas ini yang kita perbaiki. Jadi bukan gebyah-uyah mengembalikan kedaulatan rakyat memilih Presiden ini ke tangan MPR. Kami Demokrat dengan tegas menolak itu," tegasnya.
3. PPP
Sekretaris Fraksi PPP di DPR RI Achmad Baidowi (Awiek) mengatakan pemilihan langsung oleh rakyat layak untuk dipertahankan ketimbang kembali ke pemilihan presiden melalui MPR RI.
Meskipun masih ada kekurangan yang harus disempurnakan dalam pemilihan presiden oleh rakyat.
"Yang saat ini sudah bagus, bisa dipertahankan, tinggal dievaluasi pada bagian mana yang perlu dievaluasi agar pelaksanaannya efektif dan efisien," ujar Wasekjen DPP PPP ini kepada Tribunnews.com, Jumat (29/11/2019).
Namun kata anggota DPR RI ini, tentu sebagai anggota parlemen dalam posisi menampung setiap aspirasi yang berkembang di masyarakat.
Karena konstitusi itu diatur untuk merspons dinamika sosial politik yang berkembang.
Hanya saja memang sebaiknya berhati-hati untuk menentukan sistem pemilihan presiden dan harus melihat semangat yang ada dalam penyusunan amandemen UUD 1945 waktu itu.
"Seiring dengan semangat reformasi, keinginan untuk melakukan demokratisasi menjadi sangat penting. Kami tentu harus mendengarkan argumentasi dari banyak pihak," jelasnya.
4. Pengamat
Pengamat politik dari Universitas Paramadina Djayadi Hanan menegaskan mengembalikan pemilihan presiden kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) bertentangan dengan semangat reformasi.
Selain juga pemilihan presiden oleh MPR berarti mengubah sistem pemerintahan dari presidensial murni menjadi parlementer atau semi parlementer.
Penerapan sistem tersebut di era Orde Baru membawa Indonesia ke sistem otoriter yang berujung pada krisis sosial, ekonomi, dan politik tahun 1998.
"Amanat reformasi antara lain adalah membatasi kekuasaan presiden dan memperkuat sistem presidensial. Jadi pemilihan presiden oleh MPR itu bertentangan dengan semangat reformasi," tegas Djayadi Hanan kepada Tribunnews.com, Jumat (29/11/2019).
Menurut dia, pemilihan presiden oleh MPR RI itu menyerahkan kedaulatan rakyat kepada hanya sekelompok elit politik.
"Lebih parah lagi di tengah oligarki partai yang masih terus marak, maka pemilihan presiden oleh MPR membuatnya menjadi urusan segelintir elit penguasa partai," jelasnya.
Di tengah lemahnya ideologi partai dan kecenderungan partai untuk berkolusi satu sama lain, dia menilai, pemilihan presiden oleh MPR akan membuka jalan bagi pelanggengan kekuasaan politik oleh kelompok elit dan bisa membawa ke sistem otoriter di masa depan.
Pemilihan presiden oleh MPR juga memungkinkan munculnya pemegang kekuasaan yang tidak dikehendaki rakyat, hanya yang dikehendaki elit saja.
Lebih jauh dia tegaskan, pemilihan presiden oleh MPR itu bertentangan dengan perkembangan sosial, politik dan ekonomi masyarakat yang makin maju dan moderen.
"Pemilihan presiden oleh MPR itu bertentangan dengan kemajuan masyarakat," jelasnya.
Ia mengutip data riset opini publik sejak tahun 1999 hingga 2019 menunjukkan, lebih dari 70 persen masyarakat Indonesia mendukung model demokrasi dengan pemilihan langsung yang selama ini telah dipraktekkan.
"Pemilihan presiden oleh MPR itu tidak sejalan aspirasi rakyat soal demokrasi langsung," tegasnya.
Terakhir kata dia, pemilihan presiden oleh MPR hanya akan menguntungkan orang yang berambisi berkuasa tapi merasa rakyat tidak akan memilihnya melalui pemilihan langsung.
"Lagi lagi potensial menyuburkan oligarki dan dinasti politik yang bertentangan dengan semangat reformasi dan demokrasi," jelasnya.
Sebelumnya, Ketua Umum PBNU, Said Aqil Siradj, menyampaikan usulan agar pemilihan presiden dan wakil presiden kembali dilakukan oleh MPR.
Hal tersebut disampaikan oleh Said Aqil kepada pimpinan MPR di kantor PBNU, Jln Kramat Raya, Jakarta Pusat, Rabu (27/11/2019). Saiq Aqil mengatakan bahwa usulan tersebut merupakan usulan Munas NU 2012 di Pesantren Kempek, Cirebon, Jawa Barat.
"Tentang pemilihan presiden kembali ke MPR, itu keputusan Munas NU di Kempek Cirebon 2012," ujar Said Aqil di kantor PBNU, Jln Kramat Raya, Jakarta Pusat, Rabu (27/11/2019).
Menurut Said Aqil, keputusan tersebut diambil melalui musyawarah para kiai NU. Pertimbangan NU memberikan usulan itu karena besarnya biaya yang ditanggung akibat pemilihan presiden secara langsung terutama ongkos sosial.
Dirinya menyontohkan perselisihan yang terjadi saat Pilpres 2019 lalu. Said Aqil mengatakan tidak seharusnya terjadi pertikaian seperti itu lagi.
"Kiai-kiai sepuh, waktu ada Kiai Sahal pas masih hidup, Kiai Mustofa Bisri, menimbang mudharat dan manfaat, pilpres langsung itu high cost, terutama cost sosial," tutur Said Aqil.
"Kemarin baru saja betapa keadaan kita mendidih, panas, sangat mengkhawatirkan. Ya untung gak ada apa-apa. Tapi apakah lima tahun harus kaya gitu?" tambah Said Aqil.
Menurutnya keputusan ini diambil demi persatuan bangsa. Dirinya memastikan usulan NU tidak terkait dengan kepentingan politik.
"Itu suara-suara para kiai pesatren yang semua demi bangsa demi persatuan. Gak ada kepentingan politik praktis nggak," pungkas Said Aqil.[tnc]