Rektor Baru ITB, Isu Radikalisme, Dan Matinya Otonomi Kampus
OLEH: DR. SYAHGANDA NAINGGOLAN
(Alumni Teknik Geodesi & Geomatika ITB Dan Magister Studi Pembangunan ITB)
Berbagai media menuliskan kampus tertua di Indonesia, Technische Hogeschool Bandoeng, alias ITB, yang tahun depan bakal berumur seabad, luar biasa sebab akhirnya memiliki rektor perempuan pertama. Apakah "the presence is an essence?" Apakah keluarga besar ITB, termasuk alumninya bahagia?
Pemilihan Rektor ITB kali ini yakni pemilihan awal di mana faktor akademik atau sudut pandang akademik enggak menjadi acuan utama. Persoalan ini puluhan tahun dilawan ITB saat rezim Suharto di masa lalu mau memaksakan semua kampus di Indonesia rektornya ditunjuk Suharto. Agar kampus-kampus dapat digunakan buat kepentingan penguasa. Namun, Rektor-rektor ITB serta Senat Guru Besar kala itu berhasil berargumentasi dengan Suharto agar kebebasan kampus diberikan pada ITB. Dan memang ITB yakni satu satunya kampus yang di masa itu memiliki otonomi kampus.
Apa itu sudut pandang akademik? Sudut pandang akademik yakni cara memandang dengan pendekatan kebebasan ilmiah. Kebebasan ilmiah yakni menyerahkan kebenaran pada objektivitas ilmiah. Objektivitas ilmiah yakni berpikir serta bertindak berdasarkan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan, yang kekuatan logik serta observasi-terverifikasi menjadi acuan mutlak.
Sudut pandang akademik serta kebebasan ilmiah telah menjadi acuan seabad civitas akademika ITB mengemban tugas buat membesarkan ITB menjadi kampus teknologi utama serta awal di Indonesia, serta beberapa jurusannya menjadi salah satu bidang yang masuk kelas dunia, seperti jurusan Informatika.
Kebanggaan atas kebebasan ilmiah di ITB selama ini mampu mensubordinasikan mermacam fenomena serta gejala berpikir dogmatisme serta dianggap non "mainstream". Berpikir dogmatism walau berkembang di kalangan mahasiswa maupun dosen ITB, namun saat kembali dalam ranah kampus/universitas, semua mereka sepakat pada "mainstreaming" objektivitas ilmiah.
Pemilihan Rektor ITB kali ini, suasana kebebasan ilmiah bergeser kacau-balau saat ada indikasi beberapa unsur yang berpengaruh dalam pemilihan rektor, memainkan isu politik kotor buat pemilihan rektor, yakni radikalisme. Kelompok-kelompok ini sejak setahun lalu Telah menggembar-gemborkan ITB sebagai sarang radikalisme.
Untuk itu, digaung-gaungkan pemilihan Rektor ITB perlu menyertakan Badan Intelijen Negara (BIN) serta Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT). Islamophobia didorong buat menjadi isu sentral Dibanding isu kebebasan ilmiah serta kancah prestasi ITB dalam riset serta kemajuan industri.
Resonansi yang diharapkan kelompok-kelompok ini yakni agar kekuasaan rezim Jokowi, yang memiliki veto 35% suara pada pemilihan rektor, digunakan buat memenangkan calon rektor yang sejalan dengan "kode" antiradikalisme tersebut.
Untuk menjaga ITB sebagai institusi ilmiah, sejak dahulu, keabsahan berpikir ilmiah itu digariskan oleh senat guru besar ITB. Senat guru besar ITB masa itu yakni kebanggan serta keagungan sebuah perguruan tinggi. Saat ini, fungsi senat guru besar itu digantikan senat akademik, sebanyak 59 orang, yang mana senat guru besar tetap menjadi bagian didalamnya.
Dalam pemilihan Rektor ITB, senat akademik dipercaya buat menentukan kelayakan calon rektor. Dari 100-an calon rektor ITB baru ini, senat akademik secara hati hati menyeleksi calon rektor. Pada langkah pertama, calon rektor diseleksi dari 100-an calon menjadi 30 calon. Lalu, dari 30 calon menjadi 10 calon. Lalu, dari 10 calon menjadi 6 calon serta lalu seleksi lagi, akhirnya ditetapkan menjadi 3 calon.
Proses seleksi dari institusi senat akademik atau dari orang-orang yang memiliki klaim sebagai masyarakat ilmiah, atau dari simbol logik serta kebenaran ilmu pengetahuan, keluarlah 3 nama, yakni Professor Kadarsyah Suryadi, Professor Jaka Sembiring serta Professor Reini Wirahadikusumah. Posisi voting ilmiah yang obyektif ini diberikan kepada Kadarsyah sebanyak 28, kepada Jaka Sembiring 10 serta Reini 10 suara. Sisanya terbagi pada calon terbawah.
Setelah 3 calon, pemilihan berikutnya diserahkan ke Majelis Wali Amanah (MWA), sebuah institusi yang enggak ilmiah lagi, di mana Mendikbud serta Gubernur, sebagai anggota, serta beberapa lainnya mewakili masyarakat, di luar anggota senat akademik.
Mengapa Otonomi Kampus ITB Dimatikan?
Ketika Kadarsyah dipilih senat akademik sebagai calon rektor terbaik, namun enggak dijadikan rektor oleh kekuatan MWA serta negara, maka kita mengetahui Jika upaya anggota senat akademik (59 orang) itu, terbentur kekuasan Jokowi, yang melihat isu radikalisme lebih penting bagi penentuan rektor ITB.
Pada saat uji kelayakan publik akademik ITB, oleh MWA, di kampus ITB, Kadarsyah memperlihatkan keunggulan mutlak, dengan mengantongi voting 358 suara, Jaka Sembiring 150 suara serta Reini (Reini D. Wirahadikusuma, rektor ITB yang terpilih -red) cuma di papan bawah, 81 suara. Meski suara ini bersifat setengah sakral, sebab itu suara diluar senat akademik, namun pada saat Senat Akademik memilih calon menjadi 3 suara, Kadarsyah tetap yang tertinggi.
Pada pemilihan secara politik di kantor Menteri Pendidikan, (8/11/2019), Reini menang dalam pemilihan. Inilah sebuah ironi, di mana Kadarsyah dengan modal 48,28% kalah dari Reini yang bermodalkan 17,24% saja.
Apa penjelasan yang mau dikenal terkait ini? Dari sisi akademik kita Telah selesai, Kadarsyah terbaik, sedangkan Jaka Sembiring serta Reini jauh di bawahnya. Jadi kemenangan Reini yakni kemenangan nonpendekatan akademik. Apakah sebab ia wanita?
Di ITB isu gender bukanlah isu objektif. Objektivitas ilmiah enggak membatasi kebebasan perempuan seperti dalam ajaran dogmatis, misalnya. Lalu, apakah yang menarik buat dipahami? Tentu saja isu radikalisme tadi.
Isu radikalisme kampus, dalam "hearing" 3 calon rektor itu, pada 2 November, saat ditanyakan soal radikalisme, kandidat rektor Kadarsyah serta Jaka Sembiring mengangkat bendera merah, sebagai jawaban atas pertanyaan itu. Sedangkan Reini bendera hijau. Bendera merah artinya mereka menganggap isu radikalisme enggak mainstream di ITB, sebaliknya bendera hijau menunjukkan, sedikitnya, ada. Nah kode merah versus hijau ini yakni kunci bagi pemerintah Jokowi buat mengetahui siapa yang pro pada isu anti radikalisme di kampus serta siapa yang tidak.
Penutup
ITB yakni sebuah kampus yang Telah ada di Indonesia sebelum negara Indonesia ada. ITB juga yang mencetak Ir. Sukarno menjadi pemimpin radikal di Indonesia serta sekaligus negara-negara Asia-Afrika. Sehingga isu radikalisme di ITB sesungguhnya isu murahan. Isu murahan ini dicoba mainkan oleh kelompok-kelompok tertentu yang mau mengaitkan kampus pada radikalisme.
Pada tataran masyarakat ilmiah, atau senat akademik, ITB masih waras, terbukti dengan menihilkan isu itu sebagai pertimbangan memilih calon rektor. Senat akademik lebih melihat visi kebangkitan kampus sebagai "entrepreneurial University", disamping sebagai tulang punggung riset serta teknologi.
Sayangnya, kampus ITB bukan lagi institusi otonom, yang bebas dari intervensi kekuasaan. Kampus sekarang perlu tunduk pada keinginan rezim dalam menjalankan isu anti radikalisme. Situasi ini bakal berdampak buruk buat ITB, setelah 100 tahun berdiri, di mana kebebasan ilmiah serta objektivitas terpinggirkan.
Tepuk tangan kita tentang kehadiran perempuan yang awal kali sebagai Rektor ITB, dari uraian di atas, perlu direnungkan kembali, apakah cuma sekadar "presence" (kehadiran), bukan sebagai "essence" (esensi)?
___
*Sumber: RMOL
**Foto atas: Rektor ITB yang akhirnya terpilih, Reini D. Wirahadikusuma.