BERTANYALAH tentang manusia. Dan anda akan memperoleh jawaban rumit dari seorang filsuf: tentang eksistensi, tentang kegetiran, tentang “langit yang kosong dan konsekuensi dari kebebasan”.
Ada jawaban lain, misalnya dari seorang dokter. Tapi keterangannya akan sangat teknis, dan mungkin mengerikan, bila diterangkan oleh ahli bedah otak, bahwa yang berdenyut di kepala cuma mesin sibernetika yang mengolah informasi dan menyajikannya sebagai perintah atau larangan.
Tapi seorang jurnalis akan menerangkan manusia dalam kaitannya dengan peristiwa, dalam dunia yang tak pernah tidur, dan terus membuat sejarah. Jurnalis menjaga akal sehat publik agar tak ada yang lupa bahwa kemarin seorang tokoh dieluk-eluk, dan hari ini ia dicaci. Atau sebaliknya.
Manusia selalu ada dalam peristiwa: publik maupun privat. Dia membuat peristiwa dan menempuhnya. Sebelum sejarawan tiba, jurnalis telah merekamnya. Berita dihasilkan, dan kontroversi pasti menyusul. Karena itu, kalkulasi dan intuisi silih berganti menggoda iman sang jurnalis: menuliskan peristiwa itu atau mendiamkannya. Kebebasan hati nurani adalah pemimpin redaksi setiap jurnalis.
Ilham Bintang. Empat dekade ia mencatat peristiwa, mengendapkannya sebagai pengetahuan, dan menapis nilai terhalus dari manusia, yaitu kegetiran dan harapan.
Ada banyak tokoh yang lalu-lalang dalam sejarah. Sisi hidup mereka yang unik dicatat tebal. Tapi Nana, nama yang dijadikan judul buku ini, bukan orang besar. Namun kisahnya melampaui banyak nama besar, karena satu hal: ia terlalu bersahaja memandang peristiwa kematian. Ia telah mengendapkan seluruh kalkulasi hidup-mati, dan dengan ringan pamit menyalami orang-orang yang ia kasihi. Dan Ilham Bintang menulis kisah ini juga dalam kendali dalil dasar jurnalisme: tanpa dramatisasi, tanpa sensasi.
Justru dengan itu pembaca diajak untuk memghasilkan ulang kisah Nana, dalam ruang imaji privat masing-masing.
Menyimpan banyak informasi, dari dunia politik hingga hiburan, Ilham Bintang pasti punya banyak pilihan cara untuk menulis peristiwa, bahkan tentang “yang terlarang”. Etika jurnalis memang tumbuh dari dilema tanggung jawab itu: apa itu sudut pandang publik?
“Surat-surat Wasiat Mendiang Nana”, melampaui suatu laporan jurnalis, adalah percakapan batin manusia. Ia semacam “cek@ricek” terhadap diri sendiri: tentang batas kegetiran, kekuatan harapan, detik per detik waktu, denyut per denyut nadi.
Nana. Dipilih sebagai judul buku, di antara banyak nama besar dan peristiwa penting di negeri ini, menyiratkan ada dimensi etis yang mengendap pada subyektifitas seorang jurnalis: ada yang otentik pada setiap peristiwa, tapi pengalaman menghadapi maut dengan “cara Nana”, menggugah cara kita membedakan ketabahan dan ketakmungkinan, kegembiraan dan kegetiran.
Apakah Nana bergembira atau getir ketika menulis wasiat? Apakah kesederhanaan ekspresi Nana dalam kalimat-kalimat wasiat itu menyimpan ketabahan luar biasa menghadapi ketakmungkinan? Uraian teoretik filosofis dapat saya tulis, tetapi jurnalisme menyampaikan peristiwa manusia, sebagai renungan privat di tengah hiruk-pikuk berbagai isu publik besar.
Memang, peristiwa bukan tentang tokoh. Tokoh diberitakan, tapi peristiwa dihayati. Peristiwalah yang menghidupkan tokoh, yaitu melalui interpretasi dan kontroversi. Sama halnya, pelajaran sejarah bukan tentang kepahlawanan, melainkan tentang penghianatan. Di situ ada kontroversi tentang sudut pandang, tentang karakter manusia, tentang dilema nilai.
Jurnalisme bukan sekadar keahlian teknis mecari dan memberitakan, melainkan sikap etis terhadap peristiwa. “Nana” bukan sekadar sebuah nama. Ia memang diberitakan, dengan keahlian teknis jurnalisme: 5W+1H, tetapi melampaui itu, ia adalah sebuah filosofi: mengapa ada kehidupan?
Di belakang peristiwa politik, di atas ketokohan seseorang, di balik liputan bencana, selalu ada yang tak terungkap, yang disisakan alam semesta untuk dibaca dengan mata hati. Itulah spasi kosong ‘between the lines”.
Rocky Gerung
Filsuf dari Universitas Indonesia (UI)