Sebagaimana kita ketahui, menentukan pemimpin untuk suatu kelompok ialah suatu keharusan yang tidak bisa dihindari. Adapun beberapa tujuan dipilihnya pemimpin itu untuk membawa kelompoknya menuju tujuan bersama, mempertemukan titik temu antar anggota kelompok, dan mecegah terjadinya perpecahan di kelompok tersebut. Islam sendiri juga mendorong untuk mengangkat pemimpin, salah satu landasanya ialah hadis nabi Muhammad Saw:
إذَا كَانَ ثَلاَثَةٌ فِي سَفَرٍ فَلْيُؤَمّرُوا أَحَدَهُمْ
“Apabila terdapat tiga orang dalam sebuah perjalanan, maka hendaknya mereka menunjuk salah satu seorang dari mereka sebagai pemimpin”.
Setelah kita mengetahui tujuan diangkatnya pemimpin, di benak kita tergambar bahwa untuk merealisasikan tujuan itu, harus mengangkat pemimpin yang berkompeten. Dalam sejarah islam, banyak tokoh-tokoh muslim yang bisa dijadikan tumpuan pemimimpin yang berkompeten, salah satunya ialah Khalifah Umar bin Abdul Aziz.
Umar bin Abdul Aziz ialah Khalifah ke delapan dinasti Umayyah menggantikan Sulaiman bin Abdul Malik. Pada awalnya, Sulaiman bin Abdul Malik ingin mengangkat salah satu anaknya untuk menjadi khalifah penggantinya. Akan tetapi, orang terdekat Sulaiman bin Abdul malik melarangnya dan menyarankan untuk menentukan Umar bin Abdul Aziz yang populer dengan kecakapanya.
Walau bisa dikatakan masa pemerintahan Umar bin Abdul Aziz terbilang singkat, yaitu dua tahun (99-101 H), akan tetapi dia bisa membawa pemerintahanya berada pada puncak kejayaannya. Salah satu langkah berani dia ialah memecat pejabat yang zalim dan menggantikanya dengan pejabat yang cakap. Sehingga, pemerintahan Umar bin Abdul Aziz bisa berjalan dengan stabil.
Bukan hanya mengeluarkan kebijakan untuk bawahanya, tapi juga bagi dirinya dan keluarganya. Beliau tidak berani mengambil kepingan dari Baitul Mal dan meminta istrinya untuk mengembalikan komplemen yang berasal dari dana BaitulMal ke Baitul Mal kembali.
Tak heran, banyak orang yang memuji keteladanan Umar bin Abdul Aziz dalam memimpin. Dr. Ali Ibrahim Hasan dalam bukunya at-Tarik al-Islami al-Amm, menyebutkan bahwa salah satu perbedaan antara pemerintahan Umar bin Abdul Aziz dengan pemerintaha para khalifah dinasti Umayyah lainnya, yaitu pemerintahanya tidak dipenuhi dengan penyimpangan dalam agama, bertindak dengan sewenang-wenang, dan penuh pertumpahan darah.
Pemerintahan Umar bin Abdul Aziz berakhir dengan wafatnya beliau. Imam Hasan al-Bashri ketika mendengar kabar wafatnya Umar bin Abdul Aziz menyebutkan, “Maata Khoirun an-Nass (telah meninggal sebaik-baiknya manusia)”.
Lalu, apa penyebab Khalifah Umar bin Abdul Aziz meninggal?
Ada beberapa riwayat yang menjelaskan penyebab meninggalnya Umar bin Abdul Aziz. Salah satunya menyebutkan bahwa penyebab meninggalnya ialah ketakutanya kepada Allah Swt dan lelalahnya ia dalam melayani rakyatnya. Riwayat lainya menjelaskan bahwa penyebab meninggalnya ialah sebab diracuni.
Ali Muhammad as-Sholabi dalam buku ad-Daulah al-Umawiyyah: Awamilul al-Izdihar wa Tadaaiyaatil al-Inhiyaar, menyebutkan bahwa dikala itu kalangan bani Umayyah tidak bisa mencicipi kenikmatan kekuasaan sebagaimana yang pernah mereka rasakan sebelum Umar bin Abdul Aziz menjadi Khalifah.
Setelah Umar bin Abdul Aziz menjadi Khalifah, ia sangat ulet dalam memberantas kezaliman dalam internal keluarganya. Sehingga, sebagian dari mereka berencana untuk meracuninya.
Untuk memuluskan planning tersebut, mereka memerintahkan budak Umar bin Abdul Aziz untuk meracuni tuanya sendiri. Awalnya, budak tersebut merasa ragu untuk melaksanakan hal tersebut, walaupun dijanjikan dengan uang 1000 dinar dan akan dimerdekakan. Akan tetapi pada akhirnya, budak tersebut terpaksa melayani perintah mereka dikarenakan budak tersebut diancam akan dibunuh bila tidak mematuhi perintah mereka.
Budak tersebut membawa minum kepada Umar bin Abdul Aziz. Sebelum disuguhkan kepada tuanya, ia menjatuhkan racun di dalam minumnya. Tanpa menaruh rasa curiga, Umar bin Abdul Aziz meminumnya, sehingga racun tersebut masuk ke dalam tubuhnya dan menciptakan ia sakit selama 20 hari sampai meninggal.
Pada masa sakitnya, dia mengetahui bahwa yang meracuninya ialah budaknya sendiri. Lalu apa yang dilakukan Umar bin Abdul Aziz sesudah mengetahui hal tersebut? Justru iamemaafkan budak tersebut dan memerintahkanya untuk pergi.
Padahal, dengan jabatanya sebagai khalifah, ia bisa saja mengintrograsi budak tersebut dan membocorkan siapa yang memerintahkanya sehingga bisa menghukumnya. Akan tetapi, dia justru memaafkan mereka semua seraya mengaharapkan tanggapan kebaikan dari Allah SWT.(i)
Wallahu a'lam