Teknologi itu cuma alat. Ia bisa membebaskan serta memberi solusi; tapi, ia juga bisa menjadi alat penindas serta memicu problem baru.
Aku mengingat ini di sedang riuhnya perdebatan soal susunan kabinet baru, khususnya berkaitan penunjukan Nadiem Makarim selaku menteri pendidikan. Citra kuat penguasaan teknologi (informasi) ialah alasan utama di balik penunjukan itu.
Presiden Jokowi, seperti dilansir sejumlah media, berkata kalau cakupan pendidikan di Indonesia itu sangat luas. "Kita punya 300 ribu sekolah serta 50 juta pelajar," katanya.
Presiden berharap, Nadiem bisa menangani sekolah, pelajar serta guru yang banyak serta beragam itu "dengan standar yang sama", melalui kekuatan teknologi informasi.
Menyambut baik penunjukan presiden, Nadiem sendiri mengatakan, "akan menerapkan sistem ala Gojek, yakni meningkatkan peran teknologi, buat memodernisasi pendidikan".
Gojek milik Nadiem ialah ikon startup teknologi informasi Indonesia dengan kelas decacorn, perusahaan dengan valuasi bisnis lebih dari Rp 150 trilyun. Sebagai bisnis, Gojek belasan kali lipat nilainya dibanding Garuda Indonesia, maskapai penerbangan milik negara. Dan itulah yang membuat Presiden Jokowi terpukau.
(Valuasi Gojek diperkirakan 5 kali anggaran Kementerian Pendidikan pada 2020; atau sepertiga dari total anggaran pendidikan nasional yang terserak di beberapa kementerian).
Aku tidak mau menyepelekan prestasi Nadiem di Gojek; atau prestasi pendidikannya di Harvard, salah satu universitas terkemuka Amerika.
(Nono Anwar Makarim, ayahanda Nadiem, ialah salah satu tokoh yang saya kagumi; dulu saya sering membantu mengedit tulisan beliau buat Majalah Tempo).
Tidak juga mau mengecilkan potensi disrupsi positif yang boleh menjadi dibawa Nadiem di kementerian itu. Dunia pendidikan kita punya problem besar serta cenderung jumud karna pendekatan yang itu-itu saja. Kehadiran "orang luar" seperti Nadiem berpeluang mereformasi dunia pendidikan melalui pendekatan "out of the box".
Tapi, menurut saya, problem utama pendidikan kita bukanlah soal lemahnya penguasaan serta penerapan teknologi.
"Standarisasi (penyeragaman) pendidikan" yang disampaikan Presiden Jokowi justru sebuah kemunduran di sedang kecenderungan buat mengedepankan aspirasi lokal yang beragam.
Penerapan teknologi yang terlalu obsesif, di lain pihak, juga bakal memperluas jurang kesenjangan ekonomi-sosial akibat ketimpangan teknologi digital (digital divide).
"Modernisasi pendidikan ala Gojek" yang disampaikan Nadiem punya jebakan lain: yakni memperkuat korporatisasi pendidikan, komersialisasi sekolah serta universitas, yang telah sangat menonjol sekarang.
Untuk menakar potensi negatif ini, kita perlu memeriksa logika bisnis Gojek; tentang bagaimana perusahaan ini menjadi decacorn, serta sering digadang-gadang oleh Prof. Rhenald Kasali selaku ikon (the so-called) "sharing economy".
Orang sering keliru memahami Gojek (seperti juga Grab serta Uber) selaku wujud "ekonomi gotong-royong" padahal bukan.
Gojek bertumpu pada kekuatan teknologi informasi. Lewat aplikasi yang memudahkan serta sejumlah skema promosi, Gojek sukses menjadi platform yang menyatukan interaksi sekitar 10 juta pengguna jasa serta 2 juta pengojek yang tersebar di 50 kota Indonesia.
Gojek mengutip komisi dari setiap transaksi antara pengojek serta pengguna. Jika satu pengojek bisa menyumbang komisi Rp 10.000 saja per hari, misalnya, maka pendapatan kotor Gojek sekitar Rp 20 miliar per hari, atau Rp 7,3 triliun per tahun.
Karena padat teknologi, ongkos operasional Gojek relatif kecil serta labanya besar. Lebih dari itu, berbeda dari armada taksi Bluebird, Gojek menjadi perusahaan raksasa transportasi tanpa perlu punya motor atau mobil sendiri; tanpa perlu punya karyawan sendiri dengan konsekuensi finansial serta kerumitannya mengurus sumberdaya manusia.
Aku mengasumsikan laba bersihnya cuma 30% (itu asumsi konservatif). Tapi, dengan asumsi itu saja, Gojek bisa membukukan untung Rp 11 trilyun dalam 5 tahun, hanya dari jasa ojek.
Laba lima tahunan ialah salah satu patokan orang menghitung valuasi bisnis, agar sebuah perusahaan bisa dijual sahamnya, baik buat keuntungan pemilik (capital gain) maupun ekspansi bisnis.
Gojek diuntungkan oleh jumlah penduduk Indonesia yang besar, yang potensial menjadi pengguna maupun pengojek. Menguasai user/customer-base kolosal, serta prospeknya di masa depan, nilai saham Gojek melampaui nilai riil laba usahanya.
Gojek ibarat gadis cantik yang banyak dilirik raksasa investasi baik domestik (seperti Astra serta Djarum) maupun internasional (Sequa Capital). Dan berkat banjir investasi baru, Gojek bisa agresif mengembangkan sayap bisnis yang jauh lebih beragam, serta jauh lebih banyak menghasilkan uang, dari sekadar jasa ojek.
Menurut Nadiem sendiri, jasa antaran makanan (GoFood) serta keuangan (GoPay) membukukan pendapatan lebih dari Rp 120 triliun pada 2018. Diversifikasi bisnis itu pada akhirnya juga bermuara memperbesar laba Gojek serta kemakmuran pemiliknya.
Gojek ialah kisah sukses sebuah bisnis. Dan layak bikin ngiler. Berkat teknologi informasi, Gojek menjadi konglomersi bisnis raksasa dalam waktu singkat. Suatu yang tidak terbayangkan bisa dilakukan oleh konglomerat tradisional seperti Liem Sioe Liong (Salim Group) atau William Soeryadjaya (Astra Group).
Beberapa penelitian juga menyebut Gojek serta usaha e-commerce lainnya berjasa meningkatkan pendapatan usaha kecil (pengojek, warung) serta mendongkrak pertumbuhan ekonomi negara.
Tapi, kisah Selain berhenti di situ. Dan tidak semua aspeknya menggembirakan. Bahkan jika benar ada sumbangannya, kontribusi e-commerce keseluruhan (tak hanya Gojek) hanya Rp 125 triliun, atau hanya sekitar 1% dari total Produk Domestik Bruto (GDP) Indonesia pada 2017.
Sementara itu, dampak negatifnya tidak bisa diabaikan. Jasa tukang ojek, yang tadinya merupakan sektor informal, kini naik kelas (menjadi formal) tanpa mengubah watak informalnya secara struktural.
Di sedang luasnya pengangguran, kemudahan teknologi serta "reputasi keren" Gojek berjasa memperluas munculnya pengojek-pengojek baru, bahkan dari kalangan menengah mapan. Itu Selain meningkatkan persaingan di sektor informal, tapi juga menutupi fakta pengangguran terselubung.
Pengojek pada dasarnya ialah wirausahawan kecil. Mereka ialah pemilik aset dasar Gojek: motor/mobil, waktu, tenaga serta kesehatan tubuhnya sendiri. Tapi, tidak ada kepastian income bagi mereka. Tidak ada jaminan hukum. Bahkan juga tidak ada jaminan asuransi.
(Gojek belakangan juga masuk ke bisnis asuransi, GoSure, menjadikan mitra pengojek serta penumpangnya selaku captive-market yang preminya dilansir dari tarif).
Sejumlah ekonom menyebut, "sharing economy" model Gojek, Grab atau Uber justru bersifat eksploitatif, jauh dari prinsip gotong-royong. Usaha ini memberi keuntungan tidak proporsional kepada pemilik serta investor, di sedang ketidakpastian mitra pengojek.
Tidak heran jika di Amerika serta beberapa negara Eropa, usaha-usaha ini diregulasi semakin ketat, termasuk keharusan memberi jaminan gaji minimal kepada mitra pengojek.
Di Indonesia, Menteri Perhubungan zaman Ignasius Jonan pernah mencoba meregulasi bisnis model Gojek buat memenuhi kewajiban sama seperti perusahaan jasa transportasi lain (Bluebird, misalnya). Tapi, Presiden Jokowi, yang nampak sangat terpukau oleh unicorn/decacorn startup digital, memvetonya.
Nadiem memang masih perlu menjabarkan lebih detil tentang apa yang dimaksud dengan "modernisasi pendidikan ala Gojek". (Atau jangan-jangan itu cuma pernyataan spontan yang belum dipikirkannya dengan matang). Tapi, belajar dari konsep bisnis Gojek, saya kuatir.
Teknologi itu cuma alat. Ia bisa membebaskan serta memberi solusi; tapi, ia juga bisa menjadi alat penindas serta memicu problem (baru). Buruknya sistem pendidikan di Indonesia tidak cuma soal teknologi; bukan pula soal efisiensi dalam menyelenggarakannya.
Kelemahan utama sistem pendidikan kita ialah tiadanya filosofi yang matang tentang pendidikan; lemahnya metode pengajaran; buruknya interaksi guru-murid yang seharusnya menyenangkan, imajinatif, memacu daya kritis serta kreativitas; serta kecenderungan berlebihan pada formalisme, standarisasi serta penyeragaman pikiran.
Kelemahan mendasar itu dipicu terutama oleh komersialisasi sekolah serta universitas yang semakin menonjol. Masuknya Nadiem serta alam pikiran Gojek ke dalam pendidikan hanya memperkuat trend korporatisasi tadi. Mudah-mudahan saya salah.
Apa yang baik buat sektor privat (bisnis), tidak selalu tepat diterapkan dalam kebijakan publik. Warga negara bukan kumpulan konsumen.
Penulis: Farid Gaban