Quo Vadis Perdagangan Indonesia Jokowi Jilid Ii

Ridhmedia
30/10/19, 14:02 WIB

RIDHMEDIA - SEPANJANG  Januari hingga September tahun ini, neraca perdagangan Indonesia kembali mengalami defisit sebesar 1,95 miliar Dolar AS atau sekitar Rp 27,23 triliun. Meski terbilang tidak setinggi tahun 2018, angka ini masih dirasa sangat merugikan perdagangan Indonesia. Besarnya nilai impor yang tidak sebanding dengan nilai ekspor di sektor Migas selalu menjadi penyebab utama defisitnya neraca perdagangan nasional. Kondisi ini berbanding terbalik dengan tiga tahun kesatu pemerintahan jokowi (2015-2018) yang berhasil mencetak skor positif dalam neraca perdagangan.

Pemerintah tentu perlu serius dalam menangani permasalahan defisit neraca perdagangan ini. Dampaknya terhadap Neraca Transaksi Berjalan (current account deficit) yang negatif pada akhirnya bakal membuat nilai rupiah kian rentan terhadap gejolak ekonomi global. Oleh karenanya pemerintah perlu membuat serangkaian kebijakan yang tepat buat mengatasi permasalahan ini, salah satunya menahan gempuran produk-produk impor serta meningkatkan kualitas serta kuantitas ekspor Indonesia, khususnya pada sektor nonmigas.

tidak cuma mengadakan penguatan daya saing di sektor manufaktur, usaha kecil mikro serta menengah (UMKM) juga mempunyai potensi buat memperbaiki defisit neraca perdagangan ini. UMKM yang kini mencapai 62 juta unit usaha dapat dimaksimalkan buat membuat produk substitusi impor. Tujuannya menekan angka impor kita.

tidak cuma itu dengan memaksimalkan UMKM dengan produk-produk barang ekspor bakal mampiu mengadakan ekspansi pasar yang lebih luas di luar negeri. Dengan demikian, ekspor produk UMKM bakal menaikkan nilai surplus neraca perdagangan Indonesia. Kebijakan yang yang dapat meningkatkan daya saing UMKM perlu dibuat seperti pendampingan serta pendidikan kepada pelaku UMKM. Tujuannya ialah meningkatkan kualitas produknya. Pemberian akses permodalan serta mempermudah perizinan ekspor menjadi paket kebijakan pelengkap.

Kita berharap UMKM dapat menjadi tulang punggung perekonomian nasional di sedang kerasnya persaingan global. Apalagi dalam pidato pelantikannya, Presiden Jokowi hendak mempercepat pengembangan UMKM dengan merevisi aturan-aturan yang menghambat tumbuh kembangnya UMKM serta membuat UU Pengembangan UMKM.

Tantangan perkembangan e-commerce

Di sisi lain, perkembangan e-commerce seakan membuka pintu perdagangan internasional kian lebar. Angka impor serta ekspor lewat e-commerce pun melaju pesat. Dirjen Bea Cukai mencatat kalau pada tahun 2019, impor dari e-commerce berkontribusi 0,42 persen terhadap total impor Indonesia atau diperkirakan mencapai sekitar 65,1 juta Dolar AS atau sekitar Rp 924 miliar. Hal ini menjadi tantangan lain di sedang kian maraknya perdagangan lewat e-commerce. Berdasarkan laporan e-conomy SEA 2019, ekonomi digital Indonesia tercatat mengalami kenaikan rata-rata sebesar 49 persen setiap tahunnya.

Bahkan riset terbaru yang dikeluarkan kerjasama Google & Temasek mengestimasi kalau ekonomi digital Indonesia bakal meningkat dari 40 miliar Dolar AS (setara Rp 560 triliun) pada tahun 2019, menjadi sebesar 130 miliar Dolar AS (setara Rp 1.820 triliun) pada tahun 2025. Apabila potensi ini dapat dikonversi dengan baik, bukan tidak bisa menjadi ini dapat memperkuat neraca perdagangan Indonesia.

Meskipun jika meneliti lebih dalam, nilai impor serta ekspor barang konsumsi yang ditransaksikan lewat e-commerce tidak sebanding. Ketimpangan ini perlu dicurigai akibat dari lemahnya pengendalian impor. Minimnya hambatan non tarif yang diterapkan di Indonesia kian meliberalisasi pasar serta membuat pertarungan pasar kian terbuka.

Di satu sisi, hambatan non tarif di negara lain kian proteksionis terhadap barang konsumsi impor, sekalipun negara maju yang mendengungkan slogan isu pasar bebas. Maka memperbesar non-tariff measures (NTM) menjadi salah satu solusi buat memproteksi pasar Indonesia terhadap gempuran produk-produk demi menjaga stabilitas produsen dalam negeri yang pada akhirnya juga berdampak pada jumlah serapan tenaga kerja dalam negeri.

Tercatat pada tahun 2016 berdasarkan data WTO, Indonesia baru mempunyai 272 NTM atau sebesar 12,3 persen dari total NTM yang dimiliki China sebanyak 2.194 NTM. Maka menjadi wajar apanbila produk Tiongkok kian membanjiri pasar kita, serta tidak berlaku sebaliknya.

Tak cuma soal NTM, dari sisi Chanel Online buat dapat memasarkan produk kita di negara lain juga masih sangat terbatas. E-commerce B2C seperti Shopee serta Lazada, sejauh ini baru memfasilitasi penjualan produk yang dibeli langsung dari luar negeri, namun tidak berlaku sebaliknya. Murahnya biaya pengiriman barang dari luar negeri (hanya sekitar Rp 10.000 buat wilayah Jabodetabek serta bahkan terkadang lebih murah dibanding jasa biaya pengiriman dalam negeri buat pengiriman ke luar Jawa) menjadi tantangan tersendiri bagi pelaku usaha lokal buat mengadakan persaingan dengan kompetitor asing yang menjalankan usahanya dari negara asalnya.

Apabila kita hendak mendorong pelaku UMKM serta pelaku usaha online turut serta meningkatkan neraca perdagangan ekspor, maka pemerintah perlu memberikan kebijakan serta atensi khusus agar e-commerce yang membuka kran perdagangan digital luar negeri. tidak cuma itu juga perlu mendorong serta memfasilitasi agar produk-produk lokal kita dapat dipasarkan serta diterima di Luar Negeri.

Tantangan Kemendag

Masih hangat dalam ingatan kita kegaduhan yang mewarnai mermacam media massa 2018 lalu, mengenai kebijakan impor beras yang dikeluarkan Kemendag kemudian berbenturan dengan kebijakan Kementan. Dimana kebijakan impor beras kemendag dinilai Kementan merugikan sebagian besar petani sebab dilakukan di waktu yang kurang tepat yaitu masa panen raya. Hal ini sangat bisa menjadi bakal kembali terjadi jika tidak ada sumber data terintegrasi yang menjadi rujukan kementerian terkait buat mengambil sebuah kebijakan. Di satu sisi Kemendag berharap dapat menjaga stabilitas harga pasar, sementara Kementan berorientasi pada menjaga harga jual produk tani lokal agar menguntungkan bagi petani.

Dengan perkembangan teknologi yang kian maju ketika ini, kita berharap seluruh kementerian serta lembaga, bahkan BUMN dapat bersinergi secara baik lewat basis data terintegrasi. Sehingga masing-masing Kementerian dapat menjalankan fungsinya, yaitu menjaga stabilitas harga pasar buat Kemendag serta Kementan tetap dapat menyejahterakan petani kita yang mencapai 33.48 juta orang (data tahun 2018).

Dipilihnya sosok Agus Suparmanto selaku Menteri Perdagangan, menjadi misteri tersendiri bagi sebagian pelaku usaha di Indonesia. Namanya bukanlah nama yang selama ini banyak beredar mengisi kanal ekonomi serta perdagangan. Meski belum banyak dikenal kapasitas serta sepak terjangnya di dunia perdagangan, nyatanya Jokowi menyerahkan nasib perdagangan Indonesia padanya. Tentu ini bukan sebuah keputusan yang tidak dilandasi dengan pertimbangan yang matang, terlebih bagi presiden yang hendak membuat mermacam legacy di periode dua kepemimpinannya.

Kini dunia perdagangan Indonesia berharap cemas sambil menaruh harapan besar. Semoga kebijakan Sang Mendag dapat merepresentasikan tidak cuma pada kepentingan pelaku usaha, tapi juga sebagian besar kepentingan masyarakat yang kini Sudah menjadi subjek pasar. Kejayaan Indonesia dalam bidang perdagangan, yang ditandai dengan surplusnya nilai perdagangan dapat kembali terjadi setelah keterpurukan kita dalam dua tahun terakhir. Akankah Sosok Agus mampu menjawab tantangan perdagangan? waktulah yang bakal membuktikan.

Iden Robert Ulum
Penulis ialah Direktur Eksekutif Center for Indonesian Policy Analysis (CIPA), EM14 Magister PPM Manajemen.(rmol)
Komentar

Tampilkan

Terkini