Basis Emansipatoris 212

Ridhmedia
01/12/19, 20:31 WIB

Oleh: Ale Thalib ( Aktivis Politik)

Seperti yang banya orang ketahui, dalam hakikatnya, Islam tidak berhenti hanya pada urusan akhirat tetapi juga pada urusan duniawi yang dimana kedua urusan itu terjaga relevansinya. Akan tetapi, selain terjaganya relevansi kedua urusan tersebut, Islam juga menyatukan historisitas dan kontemporerisitas ke dalam satu pihak secara dinamis.

Artinya Islam sangat memperhatikan evolusi sosial dan dinamika sosial sebagai aspek normatif dalam menciptakan peluang penyamarataan manusia (egalitarianisme) dan keadilan seperti halnya segmentasi terbentuknya gerakan 212, yakni menyuarakan/mengupayakan keadilan.

Gugatan 212 dapat dikatakan sebagai konfigurasi keadilan yang dimana dapat dimaknai sebagai kontroversi ditengah-tengah hegemoni kekuasaan dan sekaligus mematahkan dominasi oligarkis. Meskipun tidak optimal sebagai pejuang keadilan, 212 dapat dijadikan sebagai simbol pergerakan yang mengawal keadilan di Republik Indonesia.

Agar menjadi suatu pergerakan yang optimal dalam menjaga keadilan, tentunya 212 harus objektif dalam membaca peta evolusioner sebagai determinansi dalam mendorong keberlangsungan evolusi sosial. Sehingga 212 dapat ditafsirkan sebagai suatu pergerakan yang membuka peluang keadilan hukum hingga keadilan distributif.

Jika mengacu pada keadilan distributif, tentunya sangatlah dibutuhkan suatu dorongan kuat agar terciptanya keadilan itu disaat ini. Sebab ketimpangan sosial yang terjadi di era modern disebabkan oleh ketidak-seimbangan kebijakan atau keputusan politis yang hanya menguntungkan borjuasi dan elit-elit politik itu sendiri, sehingga keadilan hukumnya pun berpotensi berat terlaksanakan.

Artinya fungsi 212 haruslah bergeser dari sebagai komunitas yang berorientasi seremonialistis menuju kelompok masyarakat yang bergerak mengajukan gugatan atas ketidak-seimbangan kebijakan.

Akan tetapi segala macam pengajuan gugatan atas ketidak-seimbangan keadilan pun harus punya penyesuaian praksis yang berparadigma sosial, mengingat terjadinya pembelahan masyarakat yang diakibatkan (pasca) politik Pilpres 2014. Hal itu dilakukan agar menghindari distorsi kelompok masyarakat yang menilai 212 bukanlah orientasi pergerakan yang mewakilinya.

Untuk itu penyesuaian pada metode praksis yang berparadigma sosial haruslah dikedepankan sebagai peluang menegakkan amar ma'ruf nahi munkar secara elegan, dinamis, esensial dan berdimensi emansipatoris.

Salam. []
Komentar

Tampilkan

Terkini

Peristiwa

+