Mempersoalkan Wacana Omnibus Law Presiden Jokowi

Ridhmedia
11/01/20, 08:26 WIB

Oleh:Erfandi
 KESERIUSAN pemerintah untuk mengintegrasikan peraturan perundang-undangan melalui Omnibus Law kembali dipertanyakan.

Sejak pidato pertama pelantikan Presiden diperiode kedua, Jokowi berkeinginan akan memangkas regulasi yang saling tumpang tindih dan bertentangan antara yang satu dengan lainnya melalui konsep Omnibus Law hingga saat ini belum kunjung direalisasikan.

Wacana omnibus law sudah berlalu lama, namun sampai detik ini DPR RI belum menerima Surat Presiden (Surpres) yang memerintahkan menteri terkait untuk membahas rancangan undang-undang Omnibus law di parlemen.


HOME INDEKS
Cari Berita
Go
Farah ID
Berita Penerbangan (www.zonaterbang.id)
Galeri RMOL
HomePublika
Mempersoalkan Wacana Omnibus Law Presiden Jokowi
SABTU, 11 JANUARI 2020, 01:58 WIB
11
Shares

Erfandi/RMOL

KESERIUSAN pemerintah untuk mengintegrasikan peraturan perundang-undangan melalui Omnibus Law kembali dipertanyakan.
BERITA TERKAIT
Tolak Omnibus Law, 30 Ribu Buruh Bersiap Menyerbu DPR
Omnibus Law Ketenagakerjaan Kedok Yang Rugikan Kaum Buruh
Arief Puyouno Tolak Omnibus Law Ketenagakerjaan, Ini Kata Ketua PDIP

Sejak pidato pertama pelantikan Presiden diperiode kedua, Jokowi berkeinginan akan memangkas regulasi yang saling tumpang tindih dan bertentangan antara yang satu dengan lainnya melalui konsep Omnibus Law hingga saat ini belum kunjung direalisasikan.

Wacana omnibus law sudah berlalu lama, namun sampai detik ini DPR RI belum menerima Surat Presiden (Surpres) yang memerintahkan menteri terkait untuk membahas rancangan undang-undang Omnibus law di parlemen.


Perdebatan mengenai omnibus law di bidang investasi dan lapangan kerja tentunya tidak bisa dibiarkan mengalir menjadi wacana saja, karena konsep ini disampaikan langsung oleh Presiden Jokowi pada saat pelantikan kenegaraan. Secara politis harus dipertanggung jawabkan di hadapan rakyat Indonesia.

Wacana terkait adanya 51 pasal dari UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan dan 28 pasal yang tersebar di 7 UU terkait masalah perpajakan, yakni UU Pajak Penghasilan, UU Pajak Pertambahan Nilai, UU Ketentuan Umum Perpajakan, UU Kepabeanan, UU Cukai, UU Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, serta UU Pemerintah Daerah hingga saat ini belum rampung

Namun demikian, dalam tataran praksisnya komitmen Presiden tersebut akan menimbulkan banyak persoalan di kalangan masyarakat, terutama berkaitan dengan keabsahan omnibus law sendiri jika diterapkan di Indonesia.

Jauh sebelum Presiden Jokowi mengutarakan konsep omnibus law, Kanada sudah melakukan deregulasi terhadap beberapa peraturan perundang-undangan melalui omnibuslaw. Demikian halnya dengan AS yang membuat satu UU baru untuk mengamandemen beberapa UU sekaligus yang dikenal dengan istilah omnibus bill.

Jika dilihat dari sistemnya, kedua negara ini yang menerapkan omnibus law termasuk dalam sistem common law, yang tentunya berbeda dengan sistem civil law yang diterapkan Indonesia. Konsep omnibus law dalam Negara-negara common law menjadi wajar banyak dilakukan karena memang dalam konsep hukumnya diperbolehkan untuk menghapus beberapa undang-undang dengan satu undang-undang.

Untuk di Indonesia, tentunya tidak bisa dilakukan karena tidak memiliki landasan hukum yang mengatur diperbolehkannya satu undang-undang bisa menghapus undang-undang yang lain.

Penghapusan satu undang-undang terhadap Undang-undang yang lain dalam konsep omnibus law tidaklah dikenal dalam UU 15/2019 tentang perubahan atas UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Dalam konsep UU pembentukan peraturan perundang-undangan hanya dikenal dengan revisi terhadap Undang-undang yang ada. Taruhlah misalnya terjadi tumpang tindih antara UU yang satu dengan yang lainnya maka yang bisa dilakukan dalam negara civil law seperti Indonesia ini menurut UU 15/2019 adalah merevisi salah satu UU yang dianggap bertentangan tersebut, sehingga tidak lagi terjadi tumpang tindih.

Ketika, ada usulan memperbaiki regulasi di bidang kehutanan karena dianggap UU 41/1999 tentang Kehutanan terjadi tumpang tindih dengan UU 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) atau UU 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria bukan berarti menghapus salah satu UU yang ada hanya untuk menghindari ketumpang tindihan tersebut.

Berdasarkan UU 15/2019 perubahan undang-undang cukup diperlukan revisi terhadap salah satu UU tersebut. Artinya konsep omnibus law yang ditawarkan oleh Presiden Jokowi akan banyak mengalami pertentangan hukum jika tidak memasukkan materi muatan omnibus law dalam UU 15/2019 tentang pembentukan perancangan perundang-undangan terlebih dahulu.

Demi kepastian hukum, sebaiknya pemerintah mengusulkan revisi UU 15/2019 terlebih dahulu sebelum mengusulkan UU Omnibus law. Karena dalam perancangan peraturan perundang-undangan UU 15/2019 ini menjadi dasar dalam membuat sebuah UU di DPR RI.

Tidak bisa hanya menggunakan pendekatan politik untuk memuluskan omnibus law dibidang investasi UMKM dan cipta lapangan kerja jika tidak ditopang oleh sistem dan landasan hukum yang kuat. Namun demikian, konsep omnibus law bukan berarti tidak baik jika diterapkan di Indonesia meskipun bebeda system hukumnya.

Dalam rangka debirokratisasi perizinan dan penyeragaman kebijakan pusat dan daerah dalam menunjang iklim investasi dan UMKM sangatlah diperlukan omnibus law. Salah satu contoh adalah omnibus law dibidang investasi dan UMKM.

Pemberlakuan omnibus law di bidang UMKM, diperlukan proporsionalitas antara pembedaan usaha mikro dengan usaha menengah. Jangan sampai pemberlakuan omnibus law justru mengaburkan perbedaan antara mikro dengan menengah terutama dalam hal pemberian afirmasi.

Selama ini afirmasi yang diberikan negara yang seharusnya banyak dirasakan oleh usaha mikro justru banyak dirasakan manfaatnya oleh usaha menengah. Sehingga berimplikasi kepada stagnasi perekonomian di lapisan bawah.

Pemberlakuan omnibus law di Indonesia paling tidak harus didasarkan pada ralitas sebagai berikut. Pertama, pemberlakuan omnibus law di Indonesia tidak harus sama dengan AS.

Konsep omnibus law yang perlu diterapkan di Indonesia bukan dengan membuat satu UU menghapus beberapa peraturan lainnya. Akan tetapi, konsep omnibus law yang seyogyanya diterapkan oleh pemerintah Indonesia adalah pembuatan suatu UU yang bisa menghapus pasal-pasal di beberapa peraturan lainnya yang saling bertentangan.

Sehingga keberadaan suatu UU yang ada masih tetap berlaku sepanjang tidak direvisi. Dengan konsep ini, akan tetap mempertahankan sistem civil law yang sudah berjalan di Indonesia meskipun omnibus law diberlakukan.

Kedua, UU omnibus law yang direncanakan diusulkan oleh pemerintah akan memiliki landasan hukum yang kuat, jika didahului dengan merevisi UU 15/2019 tentang pembentukan peraturan perundang-undangan. Dengan cara memasukkan materi muatan yang mengatur keabsahan omnibus law.

Ketiga, dengan memasukkan konsep omnibus law dalam revisi UU 15/2019 ini, maka pemberlakuan omnibus law tidak hanya terjadi pada UU yang mengatur investasi UMKM dan Cipta lapangan kerja saja. Melainkan juga akan berimplikasi terhadap produk hukum lainnya.

Realitasnya masih banyak aturan selain cipta lapangan kerja dan UMKM yang saling bertentangan antara yang satu dengan lainnya. Contoh misalnya terkait aturan ibukota yang masih diatur di beberapa UU, sehingga aturan mengenai ibukota yang tersebar dibeberapa UU perlu di integrasikan sebelum pemindahan ibu dilaksanakan.

Contoh lainnya, terkait usia anak yang di beberapa UU yang saling bertentangan. Pengaturan dan definisi usia di UU pemilu berbeda dengan pengaturan usia di UU perkawinan. Demikian halnya usia dalam UU perkawinan juga berbeda dengan usia didalam UU perlindungan anak.

Dengan banyaknya perbedaan usia dalam beberapa UU maka ini juga perlu diintegrasikan untuk menghindari kebingungan yang terjadi di masyarakat. Termasuk dalam persoalan social dan keagamaan yang masih saling bertentangan perlu dirangkum dalam konsep omnibus law.

Konsep omnibus law yang perlu dilakukan oleh pemerintahan Jokowi tidak hanya dimaknai sebagai upaya perampingan regulasi dari sisi jumlah dengan menyederhanakan peraturan saja. Akan tetapi juga perlu dimaknai sebagai konsistensi dan kerapihan pengaturan. Mulai dari prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan termasuk konsistensi materi substansi dari satu UU dengan UU lainnya.

(Penulis adalah Pengajar Unusia dan Wakil Sekretaris Hukum & Perundang-udangan MUI )
Komentar

Tampilkan

Terkini

Peristiwa

+