Ekonomi Politik Serta Masa Depan Kpk

Ridhmedia
16/10/19, 10:29 WIB

Pro serta kontra pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang sempat mengambil tempat di ranah publik kini mulai sirna. Isu penegakan hukum anti korupsi yang diperjuangkan mahasiswa serta masyarakat sipil menghilang serta terhapus oleh isu lobi-lobi partai politik.

Keadaan ini menandakan lemahnya masyarakat sipil buat berjuang dalam demokrasi yang makin oligarkis seperti sekarang ini. Itu juga pertanda penegakan hukum ke depan makin tidak pasti.

Padahal, lembaga KPK sangat menentukan baik buruknya negara ini ke depan. Eksistensi KPK juga menentukan citra serta sejarah rezim pemerintahan ini ke depan.

Kasus revisi UU KPK yang sukses tiba-tiba sebab gerilya DPR serta seluruh partai kemudian mengundang keberatan serta protes hampir seluruh elemen masyarakat mulai dari tokoh senior hingga pelajar, mulai dari partai politik hingga intelektual serta artis hingga ahli hukum.

Mereka membela KPK buat menjadi lembaga yang kuat demi demokrasi serta reformasi.

Narasi yang berkembang di suluruh sudut nuansa publik ialah penguatan kelembagaan KPK. Tetapi praktik ekonomi politik hukum yang terjadi ialah kontradiksi, yakni pelemahan KPK.

Tentu pemerintahan yang ada sekarang tidak mau dianggap melemahkan KPK di dalam sejarah namun kenyataannya berbeda dimana DPR bersama pemerintah dalam hal ini Presiden terus bergeming menggelar revisi, yang substansinya ialah pelemahan KPK.

Bagaimana ekonomi politik, yakni hubungan ekonomi dengan politik hukum terkait kelembagaan KPK, yang melemah sekarang ini? Sesungguhnya memang benar kalau ekonomi makro secara harfiah ialah masalah dinamika variabel konsumsi, investasi serta pertumbuhan. Namun secara holistik ekonomi tidak cuma itu, sebab ada institusi lain non-ekonomi yang berpengaruh serta bertali-temali dengan faktor-faktor ekonomi.

Pasar serta lembaga negara merupakan satu kesatuan institusi, yang berpengaruh terhadap pertumbuhan serta kemajuan ekonomi secara keseluruhan.

Isu KPK yang mencuri perhatian ialah institusi negara yang berperan langsung menjaga anggaran negara dari korupsi aparat-aparat yang terlibat di dalamnya. Sekarang sudah terjadi proses tarik-menarik ekonomi politik di dalam institusi negara yang melemahkan serta berhadapan dengan masyarakat sipil yang hendak menjaganya.

Kuat atau lemahnya KPK seharusnya mencerminkan fungsi negara yang bekerja sebagaimana mestinya serta pada gilirannya bakal memengaruhi pertumbuhan serta distribusi pendapatan.

Dengan kondisi KPK yang dilemahkan seperti sekarang ini, maka fungsi negara menjadi kabur dimana pemberatasan korupsi oleh negara bakal melemah. Kelemahan institusi seperti ini bakal mengganggu perekonomian, khususnya implementasi anggaran negara.

Ekonomi publik secara keseluruhan bakal terganggu menjadi makin tidak efisien. Rasio Incremental Capital Output Ratio (ICOR) Indonesia sudah paling tinggi diantara negara-negara ASEAN. Dengan KPK yang lemah serta pemerintahan yang tidak bersih, maka kondisi ekonomi makro bakal makin tidak efisien.

Ada empat pandangan tentang negara selaku institusi makro pembangunan. Pertama, negara yang turun langsung menggelar peran pelaku ekonomi dalam rangka pembangunan serta memenuhi kebutuhan masyarakatnya.
Di sini, negara berperan selaku antitesa pasar yang bertugas menjamin terpenuhinya kebutuhan masyarakatnya.

Kedua, negara yang berperan secara tidak langsung dalam aktivitas ekonomi serta memastikan sirkulasi ekonomi berjalan lancar.

Ketiga, negara yang diserap pasar serta memastikan pasar yang efektif serta efisien.

Keempat, pasar ialah konstruksi negara yang dibuat dengan mekanisme tertentu.

Dalam konteks ini, siapapun lembaga yang mengurusi pemberantasan korupsi, ia bakal efektif jika negara tersebut efektif. Jika negara tidak efektif serta efisien, boleh menjadi bakal beralih ke bentuk lain yang lebih sesuai. Sebut saja pengalaman negara-negara besar mulai dari Amerika Serikat, negara zona eropa, Jepang hingga ke Uni Soviet. Di negara-negara itu, institusi negara berfungsi sebagaimana mestinya.

Bagaimana dengan di Indonesia? Pengalaman banyak negara berkembang memperlihatkan paradoks kalau negara terbentuk tetapi institusinya tidak berfungsi sebagaimana mestinya, hal ini ditandai oleh banyak kontradiksi serta inkonsistensi. Apakah ini berarti KPK tidak bekerja sesuai fungsinya meskipun sudah banyak menyelesaikan kasus?

Sebagai entitas mikro, fakta memperlihatkan KPK sudah banyak menyelesaikan kasus korupsi. Peranan KPK menjadikan aparat negara buat jujur serta disiplin dalam anggaran negara sudah berlangsung lama serta dihargai oleh publik serta masyarakat sipil pada umumnya. Tetapi praktik hukum mikro operasi tangkap tangan seperti ini sangat tidak disukai oleh politisi, anggota parlemen, kepala daerah, serta aparat negara secara keseluruhan.

Karena itu, KPK sengaja dilemahkan dari dalam negara itu sendiri sebab dianggap selaku pengganggu dari sistem yang sudah oligarkis.

Namun juga, jangan dilupakan kalau persoalannya di tingkat makro. Kita tidak boleh melupakan kalau KPK ialah jawaban ekonomi politik terhadap persoalan pembangunan makro periode Orde Baru, yang mencuat menjadi sistem ekonomi dengan tingkat kesenjangan sangat tinggi.

Aparat negara yang kaya serta pengusaha yang menjadi kompradornya menikmati kesejahteraan serta kekayaan yang luar biasa berhadapan dengan khalayak masyarakat luas yang miskin.

Pembangunan Orde Baru meskipun dengan ekonomi yang tumbuh tinggi tidak berhasil menjadikan Indonesia menjadi negara industri serta negara maju. Yang ada ialah kesenjangan ekonomi, persoalan distribusi pendapatan sehingga ketimpangan masih cukup besar di negara ini.

Sebagaimana diketahui, pada masa itu, korupsi serta suap menandai pengusaan ekonomi serta bisnis oleh segelintir orang sehingga memperkaya hanya kelompok tertentu yang pada akhirnya menyebabkan peningkatan kesenjangan di masyarakat.

Sekarang ia dihadapkan pada persoalan ekonomi politik makro yang belum terselesaikan yaitu tercapainya kesepakatan sehingga negara dapat bekerja sesuai fungsinya serta berputarnya sirkulasi ekonomi.

Kesepakatan yang belum tercapai itu dapat terlihat di dalam proses tarik-menarik di dalam negara serta masyarakat.

Ekonomi politik yang terjadi pada institusi KPK rumit serta dirumitkan, yang boleh menjadi bisa menjadi blunder politik. Ada, proses tarik-menarik serta ketegangan, yang kesatu yaitu antara partai politik serta masyarakat termasuk mahasiswa, pelajar, akademisi serta sebagainya yang beberapa waktu yang lalu berakhir dengan demonstrasi besar-besaran serta sayangnya diakhiri dengan kerusuhan.

Statement Presiden yang berkata kalau ia rakyat biasa seakan memerlihatkan adanya tekanan dari elit politik terhadap institusi kepresidenan.

Tarik-menarik yang kedua ialah antara pendukung Presiden serta bukan pendukungnya. Mereka yang mendukung Presiden terlihat yakin kalau RUU KPK itu ialah jalan yang terbaik buat kemajuan perekonomian Indonesia walaupun pada akhirnya Presiden juga mempertimbangkan buat mengeluarkan Perppu buat merevisi RUU tersebut.

Tarik-menarik yang ketiga ialah antara mereka yang menganggap kalau KPK sudah diselundupi “radikalisme” serta yang sebaliknya.

Proses tarik-menarik yang keempat ialah antara pemerintah serta KPK itu sendiri. Ini sebetulnya ironis. Di satu sisi pemerintah serta parlemen menginginkan perubahan, sedangkan internal KPK justru mempunyai pemikiran yang berbeda.

Penyelesaian persoalan ekonomi politik menjadi lebih besar tantangannya dikala dalam proses pemilihan pemimpin tertinggi lembaga negara memerlukan biaya yang sangat besar. Sesungguhnya sangat ironis dikala wakil rakyat banyak didemo oleh rakyat itu sendiri.

Ini ialah kontradiksi sekaligus tarik-menarik. Yang sesungguhnya terjadi parlemen bersama pemerintah memang sudah bersama menggelar gerilya perubahan UU KPK, yang kemudian isinya melemahkan upaya pemberantasan korupsi. Pengaruh ekonomi politik ke depan bakal kembali seperti Orde Baru, dimana oligarki menguat lagi serta kesenjangan tetap lestari.

Seharusnya, para pejuang demokrasi terus menuntut adanya UU KPK yang menjamin independensi serta bahkan lebih diperkuat dari yang ada. Perubahan UU KPK sudah melemahkan lembaga KPK itu sendiri. Lebih jauh, buat mewujudkan keadilan di dalam masyarakat perlu pembangunan ekonomi politik yang memastikan adanya perpajakan yang adil, persaingan usaha yang sehat yang dapat berdampak kepada harga yang wajar serta penciptaan entrepreneur, persoalan lahan, peningkatan investasi hingga efektivitas kebijakan moneter yang berorientasi kepada publik tanpa melupakan yang privat.

Hampir di semua ranah ekonomi itu menuntut keseriusan pemberantasan korupsi. Jika korupsi diberantas tetapi tidak memberikan dampak kepada kemudahan transmisi makro tersebut kepada masyarakat, tentu itu juga merupakan kontradiksi sebab secara a priori bukan tidak boleh menjadi pemberantasan korupsi justru digunakan buat kepentingan mengalahkan lawan serta mengabaikan persoalan ekonomi.

Di sini, mermacam informasi memperlihatkan tarik-menarik antara elit politik, otoritas ekonomi, otoritas keamanan serta entitias bisnis.

Kita tentu tidak mau negara menjadi predator yang mengorbankan masyarakatnya sehingga pertama, tarik-menarik ekonomi politik mesti lebih efektif serta efisien serta berorientasi kepada pembangunan serta bukan kelompok tertentu.

Kedua, ekonomi politik KPK melihat kalau dalam jangka pendek perlu negosiasi antara elit politik serta masyarakat agar mermacam kontradiksi berkurang. UU KPK perlu dikembalikan kepada asalnya, tidak lagi dilemahkan seperti sekarang.

Dalam jangka menengah, perlu penyelesaian kasus demi kasus serta perlu berorientasi makro. Dalam jangka panjang, pemerintah perlu meningkatkan pendidikan dalam rangka pemberantasan korupsi serta mewujudkan negara yang bekerja sesuai fungsinya.

Penulis: Fachru Nofrian
Komentar

Tampilkan

Terkini