Tragedi Irma Nasution
Oleh: Dr. Syahganda Nainggolan
(Direktur Sabang Merauke Institute)
IRMA Nasution, istri Kolonel Hendi Suhendi, akhirnya berurusan dengan kepolisian RI dalam sangkaan kasus ITE, yang heboh belakangan ini. Irma dianggap memposting hal hal yang kurang beradab terkait penusukan Jenderal (purn) Wiranto di Pandeglang.
Kolonel Suhendi yang dipecat dari jabatan Dandim bangga dengan istrinya, tidak menyesal. "Saya bangga sudah menjadikan istri saya, istri yang bebas merdeka," kata Kolonel Suhendi.
Irma Nasution sudah mengukirkan namanya selaku perempuan merdeka atau independen dalam zaman now ini.
Ia sudah menjadi perempuan kedua dengan nama yang sama dalam sejarah bangsa kita. Irma Nasution kesatu yakni putri Jenderal Besar Abdul Haris Nasution, yang dibunuh tentara prokomunis, Oktober 54 tahun lalu.
Irma binti A. H. Nasution ditembak mati dikala dipeluk ibu asuhnya. Kekerasan politik di masa itu membuat dendam serta membunuh yakni suatu kebiasaan, juga terhadap perempuan serta anak-anak.
Istri tentara menurut keterangan resmi Kapuspen TNI, Mayjen Sisriadi, merupakan tanggung jawab tentara itu. UU No 25 tahun 2014 tentang Hukum Disiplin Militer, menurutnya mengatur "segala perbuatan yang bertentangan dengan perintah kedinasan, peraturan kedinasan, atau perbuatan yang tidak sesuai dengan Tata Terrib Militer". Meskipun tanggung jawab tentara alias suami, Irma Nasution juga dinyatakan bertanggung jawab atas dirinya sendiri, sehingga Kepala Staf Angkatan Darat melimpahkan urusan Irma ke ranah sipil, alias kepada polisi.
Apa yang mau kita pahami lebih dalam dari peristiwa ini? Pertama, jika postingan Irma "Jangan Cemen Pak..., kejadianmu tidak sebanding dengan berjuta nyawa yang melayang" benar ditujukan pada Wiranto, sebagaimana juga postingan yang lebih nyata dari istri tentara lainnya istri (Peltu (AU) YNS serta juga istri Sersan (AD) Z), maka kita dapat melihat kalau perempuan pendamping tentara di era ini sangat akrab dengan sosial media yang berlatar balik politik.
Beberapa waktu lalu, Uli Panjaitan, anaknya Luhut Panjaitan serta istri tentara jenderal juga pernah terlibat adu argumen di medsos soal politik terhadap Erwin Aksa, ketua Golkar.
Mungkin ini sebuah keniscayaan kalau masyarakat kita selaku pengguna medsos tidak membedakan lagi perempuan atau laki atau istri tentara atau istri tukang sayur, semuanya sudah menjadi netizen aktif dalam virtual world.
Kedua, jika hukuman yang diterima Kolonel Suhendi berupa pemecatan dari jabatam Dandim serta dihukum kurungan atas perbuatan istrinya, lalu mengapa istrinya juga mempunyai tanggung jawab atas perbuatannya? Ini bisa menjadi pertanyaan standar buat militer. Tentu saja anggota keluarga militer yang bukan militer terhubung dengan hukum sipil. Namun, dalam perkara menyangkut politik negara, bukankah sebaiknya sanksi militer yang diterima suami cukup buat itu?
Ketiga, bagaimana hak-hak perempuan vs laki-laki dalam lingkungan militer? Apakah memang kontrak kehidupan militer tetap seperti dahulu kala di mana isu emansipasi perempuan tunduk pada kepentingan militer itu? Atau adakah kebebasan perempuan dalam lingkungan keluarga militer yang masih bisa menjadi dikembangkan terkait politik?
Pertanyaan ini penting dikembangkan mengingat karier politik perempuan dikala ini menjadi jadwal pokok bangsa kita. Tuntutan 30% kuota perempuan dalam politik hanya tercapai 20%. Itupun banyak diisi oleh perempuan-perempuan yang di luar maksud pemberdayaan kaum perempuan (just presence not essence).
Sehingga kita berharap istri-istri tentara bisa menjadi sumber rekrutmen ke depan. Kita menyaksikan misalnya istri SBY, alm. Ani Yudhoyono berhasil membangun partai besar dari nol. Bagaimana nasib bangsa kita jika istri-istri tentara kembali di bawah kendali suami 100%?
Penutup
Mencermati kasus Irma Nasution tentu penting dilakukan secara hati-hati. Irma Nasution ini bukanlah Irma Nasution binti A. H. Nasution yang masih kecil. Irma ini yakni istri kolonel, artinya istri dengan status sosial yang sangat tinggi.
Sebagai orang cerdas serta punya sensitifitas perempuan, bisa menjadi Irma melihat kondisi politik dikala ini yang tidak sesuai harapannya. Dan, bisa pula ia melihat Wiranto hanyalah politisi gaek, yang gagal mengendalikan stabilitas politik selama ini. Jadi bukan Wiranto eks tentara.
Dalam frame seperti ini tentu saja Irma tidak meletakkan pikirannya pada perlawanan vertikal terhadap kekuasaan, meskipun Wiranto berkuasa dalam kekuasaan sipil. Tentara selaku alat negara, bukan alat kekuasaan, tentu saja tidak tunduk pada politik kekuasaan. Hal itu yang membuat tentara pasca reformasi masih dipisahkan dari proses dipilih maupun memilih dalam pemilu.
Namun, jika kita mencurigai pikiran Irma Nasution selaku bentuk perwakilan pikiran-perwakilan istri tentara, maka sebuah gelombang besar keresahan kelompok militer terhadap keadaan politik dikala ini, bisa menjadi saja eksis. Sebab, hampir 5 tahun rezim Jokowi, stabilitas politik selalu berguncang, khususnya ketegangan kelompok sosial serta matinya kebebasan ekspresi masyarakat sipil.
Kita tentu prihatin atas kekerasan yang dialami Wiranto, semoga beliau selekasnya sembuh. Sekaligus berharap Wiranto bersimpati pada kematian 5 mahasiswa yang berdemonstrasi serta kematian para pemuda-pemuda dalam demonstrasi lainnya, terlebih kematian orang-orang Bugis serta Padang di Wamena beberapa waktu lalu.
Semoga kasus Irma Nasution ini menjadi jalan bagi kita mengetahui apa yang tengah terjadi dalam masyarakat kita.
Horas Irma, kalau orang-orang Kerawang menawarkan suamimu menjadi Bupati Kerawang, anak-anak Medan pun siap menawarkan kalian menjadi Walikota di Medan. Horas...!!
[RMOL]