Oleh : Ifa Mufida (Pemerhati Kebijakan Publik)
Angka pengangguran di Indonesia semakin merajalela, bahkan tercatat mencapai 7,05 Juta. Sebagai solusinya, pemerintah menggelontorkan kartu pra kerja. Sesuai janji kampanye presiden Jokowi, maka pemerintah akan merealisasikan pembagian kartu pra kerja kepada masyarakat pada Maret 2020. Kartu Pra Kerja yang dicetak secara digital itu nantinya berisi saldo sekitar Rp 3,650 juta sampai Rp 7,650 juta.
Menko PMK, Muhadjir Effendy, mengatakan Kartu pra kerja akan dibagikan kepada para pengantin baru yang masuk kategori miskin. Ia menambahkan, pemberian Kartu Pra-Kerja ini masuk dalam program sertifikasi nikah. Muhadjir juga menjelaskan bahwa saldo yang ada di dalam kartu digunakan untuk membiayai program pelatihan yang diseleksi dari para pencari kerja atau korban PHK untuk mendapatkan pekerjaan baru (surya.co.id).
Dengan demikian, saldo yang ada adalah saldo untuk membiayai pelatihan yang akan diikuti oleh pemegang kartu pra kerja. Setelah peserta mendaftar secara online dan memenuhi syarat dan prosedur pendaftaran, maka mereka akan mengikuti pelatihan sesuai dengan lembaga pelatihan yang dipilih.
Dari sini nampak jelas, bahwa kartu pra kerja bukanlah gaji pengangguran sebagaimana yang sempat booming dimasa kampanye presiden. Namun lebih tepatnya, kartu pra kerja adalah program peningkatan skill.
Lalu bagaimana setelah lulus pelatihan? Maka semua dikembalikan kepada masing-masing. Mereka masih harus mengundi nasib mencari pekerjaan. Tidak ada jaminan bagi mereka yang ikut pelatihan pasti mendapat pekerjaan.
Selain itu, jumlah kartu pra kerja yang akan dibagikan sangat sedikit jika dibandingkan dengan angka pengangguran di Indonesia. Sebagaimana penjelasan pak Jokowi bahwa kartu pra kerja yang digagasnya itu bakal dibatasi kuota setiap tahunnya. Namun, ia menjamin jumlahnya bakal berskala di atas satu juta penerima setiap tahunnya. Padahal jumlah pengangguran kita saat ini berdasar data BPS, meningkat dari 7 juta orang pada Agustus 2018 menjadi 7,05 juta orang. Maka jelas bahwa kartu pra kerja mungkin hanya bisa dinikmati sebagian kecil pengangguran, selebihnya harus antri di tahun berikutnya.
Selanjutnya, tingginya pengangguran di Indonesia sejatinya bukan karena kurangnya skill, tetapi karena kurangnya lapangan kerja dan iklim usaha yang tidak stabil. Dari ketiga kondisi tersebut sebenarnya sudah bisa kita tarik benang merah bahwa kartu pra kerja seperti halnya sertifikat pra nikah tidak sama sekali menyentuh akar masalah. Sekaligus tak akan pernah menjadi solusi tuntas. Sebab solusi yang ditawarkan tidak menjawab problematika tetapi nampak hanya sekedar janji manis tanpa asa.
Jika kita lihat lebih dalam, sesungguhnya permasalahan pengangguran di Indonesia bukan sekedar permasalah skill dan ketrampilan. Banyak sekali lulusan SMK bahkan sarjana yang terpaksa menjadi pengangguran karena tidak ada lapangan pekerjaan yang mau menerima mereka. Sangat nyata ada kondisi ketimpangan antara kebutuhan tenaga kerja dengan lapangan kerja yang tersedia. Jumlah lulusan banyak, sementara lapangan kerja tak ada. Ketimpangan inilah yang memicu angka pengangguran terbuka.
Selain itu, juga adanya permintaan pasar yang lebih menyukai pekerja wanita. Tersebab, pekerja wanita dinilai lebih murah. Di sisi lain mereka dianggap lebih memiliki skill yang lebih bermakna. Hal inilah yang menjadikan banyak pabrik justru pekerjanya hampir semua wanita. Sedang, kaum pria semakin kesulitan mencari pekerjaan, padahal mereka adalah kepala keluarga. Dimana mencari nafkah telah menjadi tanggung jawab utama bagi mereka.
Yang lebih parah lagi, kebijakan pemerintah banyak yang tidak pro rakyat. Gempuran tenaga kerja Tiongkok menjadi bukti nyata. Di masa pemerintahan pak Jokowi tenaga asing diberi banyak tempat, sementara tenaga pribumi harus menelan pil pahit susah mencari kerja. Kalaupun mereka akhirnya bekerja, mereka hanyalah sebagai buruh di negerinya sendiri. Sebab, hampir semua aset kekayaan negara telah dikuasi asing dan aseng atas nama Investasi.
Dengan demikian permasalahan pengangguran di Indonesia hanya akan bisa terselesaikan jika solusi yang diambil sesuai dengan akar permasalahan yang ada. Ketersediaan lapangan pekerjaan merupakan hal urgen yang harus tersolusikan. Namun hal tersebut akan sulit diwujudkan jika pemimpin negeri hanya sekedar obral janji dan tidak memberikan solusi pasti. Terlebih ketika kondisi pemerintah Indonesia yang dilingkupi sistem neo-liberal maka semua kebijakan sangat terikat dengan hegemoni global. Hal ini pula, yang menjadikan pemerintah tidak bisa menolak ketika ada gempuran tenaga kerja asing yang masuk ke Indonesia. Tersebab hal tersebut adalah konsekuensi dari perjanjian perdagangan bebas dunia (WTO).
Maka, untuk benar-benar bisa keluar dari permasalahan pengangguran maka Indonesia juga harus berani keluar dari pengaruh ideologi neo-liberal. Sudah selayaknya, jika negeri yang mayoritas penduduknya muslim ini mengambil solusi dari aturan yang berasal dari Tuhan penguasa Alam.
Di dalam Islam, pemimpin berkewajiban memberikan pekerjaan kepada mereka yang membutuhkan sebagai realisasi politik ekonomi Islam. Pemimpin harus bisa memastikan bahwa setiap kepala keluarga memiliki pekerjaan yang layak sehingga bisa menafkahi keluarga mereka. Rasulullah saw. bersabda, “Imam adalah pemelihara urusan rakyat, ia akan dimintai pertanggungjawaban terhadap urusan rakyatnya.” (HR Bukhari Muslim).
Mekanisme dalam mengatasi pengangguran dan menciptakan lapangan kerja dilakukan setidaknya dengan dua mekanisme, yaitu mekanisme individu dan ekonomi sosial. Dalam mekanisme individu, seorang pemimpin harus memberikan pemahaman kepada individu, terutama melalui sistem pendidikan, tentang wajibnya bekerja dan kedudukan orang-orang yang bekerja di hadapan Allah Swt. Selain itu, juga memastikan bahwa yang wajib untuk bekerja adalah laki-laki bukan wanita.
Ketika individu tidak bekerja, misal karena malas atau tidak memiliki keahlian dan modal, maka imam wajib memaksa individu bekerja. Sekaligus, menjamin ketersediaan sarana pendidikan dan pemberian modal agar mereka bisa memulai usaha. Sebagaimana Umar r.a yang dengan tegas memerintahkan orang-orang yang hanya berdiam diri di masjid tidak bekerja atas nama tawakal. Umar berkata, “Kalian adalah orang-orang yang malas bekerja, padahal kalian tahu bahwa langit tidak akan menurunkan hujan emas dan perak.” Lalu beliau mengusir mereka dari masjid dan memberi mereka setakar biji-bijian.
Sedangkan mekanisme sosial dan ekonomi, Islam akan membuka secara lebar investasi untuk sektor riil seperti di bidang pertanian, kelautan, tambang, ataupun perdagangan. Sedangkan untuk menstabilkan iklim investasi dan usaha, seorang pemimpin negara akan menciptakan iklim yang mendorong masyarakat untuk membuka usaha melalui birokrasi sederhana, penghapusan pajak, dan melindungi industri dari persaingan yang tidak sehat.
Kemudian penyerapan tenaga kerja di lapangan maka fokus untuk tenaga kerja laki-laki. Hal ini dikarenakan wanita tidak diwajibkan bekerja. Tugas utamanya adalah sebagai ibu dan pengatur rumah tangga. Kondisi inilah yang akan menghilangkan persaingan antara tenaga kerja laki-laki dan wanita.
Demikianlah mekanisme Islam untuk menuntaskan pengangguran. Konsep tersebut hanya bisa dilaksanakan jika tata aturan Islam diambil secara utuh dari tataran individu hingga negara. Hanya dengan pengaturan Islam, pengangguran akan teratasi secara tuntas bukan sekedar tambal sulam sebagaimana solusi yang ditawarkan oleh rezim yang mengemban neo-liberal seperti saat ini. Wallahu A"lam Bi Showab.
(*)