Konflik Agraria Membayang-bayangi Pemindahan IKN

Ridhmedia
19/12/19, 05:46 WIB
Oleh: Dhiyan Wahyuningsih (Pemerhati Masyarakat dan Lingkungan)

Presiden Republik Indonesia Joko Widodo telah resmi umumkan bahwa Kabupaten Penajam Paser Utara dan Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur, mejadi lokasi baru ibu kota menggantikan Jakarta. Sebagian warga di Kalimatan Timur pun antusias mendengar pengumuman tersebuat, namun ada juga yang khawatir rencana pemindahan ibu kota ini akan membawa masalah baru di tempat tinggal mereka.

Konflik agraria diramalkan terjadi selama proses pemindahan ibu kota negara (IKN) ke Kaltim. Seperti tumpang tindih kepemilikan lahan. Yang diprediksi terjadi pada tahapan pembangunan infrastruktur di Kecamatan Sepaku di Penajam Paser Utara (PPU) dan Kecamatan Samboja di Kutai Karta negara (Kukar). Yang rencananya dimulai pada 2020.

Kekhawatiran itu sempat disampaikan Wali Kota Balikpapan Rizal Effendi. Dia mencontohkan sejumlah masalah kepemilikan lahan di Kota Minyak. Seperti sertifikat ganda. Bahkan lahan milik Pemkot Balikpapan pun disebutnya banyak yang diklaim masyarakat.  Pengamat Sosial dan Politik Universitas Mulawarman (Unmul) Samarinda Lutfi Wahyudi juga mengkhawatirkan keberadaan IKN justru memarjinalkan masyarakat Kaltim. Seperti yang sebelumnya terjadi di DKI Jakarta terhadap masyarakat Betawi. Lutfi Wahyudi mengharapkan antisipasi terhadap kepemilikan lahan saat pemindahan IKN agar jangan sampai terjadi akumulasi kepemilikan lahan oleh sekelompok elite ekonomi yang mempunyai modal melimpah.

Selain itu, kerawanan konflik juga terlihat dari masyarakat adat Dayak Paser Balik yang mengadakan Rapat Kepala-Kepala Adat dan Tokoh Adat Dayak Paser Balik di Kecamatan Sepaku.  Mereka mengharapkan pemerintah memberikan perlindungan atas hak-hak suku asli Dayak Paser Balik. Dalam Rapat tersebut mereka mengharapkan perlindungan hukum atas situs-situs bersejarah dan tanah adat tempat mereka berkebun dan berladang yang belum ada sertifikat sedsngkan ribuan hektar tanah masyarakat lainnya dalam bentuk HGU (Hak Guna Usaha).(https://kaltim prokal.co/read/news/364110-pindah-ikn-potensi-konflik-agraria)

Pemindahan IKN Memicu Konflik Agraria

Pemindahan IKN menurut sebagian masyarakat mungkin menjadi suatu hal yang membanggakan. Apalagi dengan bayangan fasilitas ibu kota yang lengkap dalam segala aspek. Pembangunan-pembangunan  infrastruktur pasti akan lebih meningkat dan hal ini pasti memerlukan wilayah dan dana tidak sedikit.

Masyarakat sekitar yang terdapat pada wilayah IKN baru pasti akan merasakan dampak nyata. Terutama dalam urusan kepemilikan tanah, dimana banyak terdapat kepemilikan ganda dan masyarakat yang belum punya sertifikat. Masyarakat hanya memiliki HGU yang sewaktu- waktu bisa diambil lagi oleh pemerintah kembali.

Dan ini bisa menjadi pemicu konflik agraria antara pemerintah dan masyarakat sekitar. Karena tidak adanya jaminan hukum yang dimiliki oleh masyarakat sekitar IKN baru.Pemerintah dengan mudah akan meminta kembali tanah yang selama ini menjadi tempat tinggal mereka tanpa harus memberi ganti rugi. Selain itu, akan banyak investor-investor yang menguasai wilayah sekitar IKN karena mereka mempunyai modal besar.

Demikianlah sistem Kapitalis Liberal sekarang ini yang lebih mengutamakan para pemodal besar. Bukan hal yang tidak mungkin pemerintah membiarkan rakyatnya menderita, karena yang menjadi pertimbangan adalah keuntungan materi.  Pemindahan IKN juga akan terjadi arus transmigrasi, di mana para transmigran diberi tempat tinggal, biaya hidup dan tanah dengan legalitas resmi sehingga menimbulkan kesenjangan dengan penduduk asli. Adanya transmigran berarti siap dengan adanya
Islam Solusi Mengatasi Konflik Agraria

Konsep Islam dalam hal pemilikan tanah berdasar pada konsep tentang hak milik. Islam mengakui hak milik individu sekaligus hak milik sosial. Dalam pandangan ekonomi Islam, kepemilikan dibagi menjadi tiga, yaitu: kepemilikan individu, kepemilikan umum, dan kepemilikan negara. 

Pemilikan individu adalah penguasaan atas zat atau manfaat tertentu yang memungkinkan bagi yang memperolehnya untuk memanfaatkannya secara langsung atau mengambil kompensasi dari barang tersebut. Setiap orang memiliki kebebasan untuk mengupayakan sesuatu untuk menjadi hak milik pribadinya, selama cara yang ditempuh tidak melanggar ketentuan yang berlaku.

Secara materiil tidak ada batasan dalam hal hak milik individu, namun Islam memberikan kewajiban kepada pemilik hak individu untuk memberikan fungsi sosial untuk setiap harta atau kekayaan yang dimilikinya. Dengan demikian, kebebasan hak milik individu dijamin sepenuhnya dalam Islam, tanpa ada batasan materiil mengenai kuantitasnya. Pembatasan dalam hal pemilikan individu terletak pada fungsionalisasinya. Islam memberikan sejumlah kewajiban bagi pemilik kekayaan untuk memikirkan komunitas masyarakat sekitarnya.

Kewajiban-kewajiban bagi pemilik kekayaan tersebut antara lain: zakat, sadaqah, infak, wakaf, wasiat dan sebagainya. Model pembatasan ini memiliki filosofi hukum dan ekonomi yang mutualistik sifatnya. Kebebasan hak milik individu mendorong setiap orang untuk berusaha semaksimal mungkin mengupayakan kekayaan untuk kesejahteraan hidupnya. Hal ini menunjukkan legalitas pencarian dan pemilikan harta diakui sepenuhnya. Secara ekonomi, pemilik harta dituntut untuk membangun perekonomian sekitarnya dengan cara distribusi pendapatan pribadinya untuk kepentingan sosial. Inilah bentuk mutualisme antara kebebasan hak milik individu dengan pembatasan fungsionalisasi sosialnya.

Dari deskripsi di atas dapat dilihat perbedaan antara kepemilikan menurut Islam dengan sistem kapitalis maupun sosialis. Islam tidak mengenal sistem kapitalis, yaitu bebasnya kepemilikan individu tanpa batas-batas tertentu. Di sisi lain Islam juga tidak mengenal sosialis yang bertumpu pada sentralisasi kepemilikan negara. Kedudukan hak milik individu dalam Islam bersifat moderat, yaitu Islam membenarkan pemilikan perseorangan tetapi memiliki aturan pembatas yakni fungsionalisasi kepemilikan untuk kemaslahatan sosial. 

Kepemilikan umum (milkiyah ‘ammah) adalah penguasaan untuk memanfaatkan suatu benda oleh sebuah komunitas atas ijin negara. Benda-benda yang masuk kategori ini biasanya adalah benda-benda yang dibutuhkan secara umum oleh komunitas, yang meliputi tiga kategrori: barang kebutuhan umum, barang tambang besar, dan sumber daya alam.Kebutuhan umum misalnya berupa; sumber daya air, hutan,energi, dan lain-lain. Barang tambang besar seperti tambang emas, perak, tembaga, timah, dan sebagainya, sedangkan sumber daya alam dapat berupa; jalan, jembatan, sungai, laut, gunung, dan sebagainya. 

Kepemilikan negara (milkiyah daulah) adalah harta yang tidak dimiliki umum maupun pribadi , namun barang tersebut berkaitan dengan kepentingan warga Negara secara umum. Termasuk dalam kategori ini adalah pajak yang dipungut oleh negara. Dalam kondisi saat ini kepemilikan umum dan kepemilikan negara dapat dimasukkan dalam satu kategori, karena apa yang termasuk dalam kepemilikan umum penguasaannya berada di tangan negara, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

Kedudukan hak milik sebagaimana diuraikan di atas juga berlaku sepenuhnya bagi pemilikan tanah. Pada dasarnya, setiap orang atau komunitas, mempunyai hak untuk memiliki tanah, sepanjang cara memperolehnya dihalalkan menurut hukum Islam. Dengan demikian Islam juga mengakui hak masyarakat untuk memiliki uang dan kekayaan. Dalam konteks kekinian, hak masyarakat terhadap tanah biasa dikenal dengan hak adat/hak ulayat.

Pemanfaatan dan pengembangan kekayaan bersama ini mirip dengan ketentuan dalam syirkah atau perseroan, di mana seluruh masyarakat adat memiliki hak dan kewajiban yang sama. Cara memperoleh hak milik tanah, dalam konsep fiqh muamalah, dapat diperoleh dengan beragam cara, seperti: bekerja, warisan, hibah, hadiah, dan ihyaul mawat (pembukaan lahan baru).

Bekerja merupakan cara paling umum dalam mendapatkan hak milik tanah yang berpangkal dari usaha pribadi seseorang. Sedangkan cara pemerolehan melalui warisan, hibah, dan hadiah, merupakan perpindahan hak milik dari seseorang kepada orang lain tanpa adanya proses bekerja. Namun, cara-cara ini adalah sah menurut hukum sebagai cara pemindahan hak milik.

Konsep ihyaul mawat mendapatkan porsi pembahasan khusus dalam kitab-kitab fiqh. Konsep ini dapat diartikan sebagai upaya membuka lahan atau tanah baru yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan oleh siapapun. Status tanah tersebut adalah tak bertuan, baik berupa ladang ataupun hutan belantara. Pembukaan lahan tersebut dilakukan dengan cara mengolahnya atau menanaminya, termasuk juga dengan mendirikan bangunan di atasnya. Dengan adanya usaha tersebut berarti telah  menjadikan tanah tersebut menjadi miliknya. Jika pembuka lahan tersebut adalah perorangan, maka menjadi hak milik individu, namun jika bersama-sama, maka menjadi tanah adat/tanah bersama.

Dalam konteks kekinian, penerapan konsep ihyaul mawat tidak sebebas sebelumnya. Dengan adanya negara muncul pembagian kekuasaan antara kekuasaan individu dengan kekuasaan negara. Kekuasaan individu (wilayah khassah) adalah wewenang yang dimiliki oleh setiap pribadi yang menjadi dasar tegaknya hak individu. Kekuasaan negara (wilayah ‘ammah) adalah kewenangan umum yang dipagang oleh waliyul amri yaitu penguasa negara (sultan/presiden).

Di dalam menjalankan kewenangannya negara dibatasi dengan keharusan menempatkan maslahah ‘ammah (kemaslahatan umum) sebagai dasar penetapan segala kebijakan. Hal ini sesuai kaidah, “tindakan pemimpin terhadap rakyatnya harus dikaitkan dengan kemaslahatan”. Munculnya wilayah khassah dan wilayah ‘ammah juga berimplikasi pada penetapan hak dan kewajiban.

Hak individu yang menjadi kewajiban bagi negara untuk memenuhinya antara lain: kebebasan bertempat tinggal, kebebasan memetik hasil usahanya, kebebasan mengelola harta yang dimiliki, memperoleh pelayanan peradilan, dan sebagainya. Di sisi lain, individu juga memiliki kewajiban yang menjadi hak bagi negara, yaitu taat atau loyal kepada negara.  Dalam pandangan hukum Islam, ketaatan tersebut tidak mutlak, tetapi terbatas dalam rangka taat kepada Allah dan RasulNya. Dengan demikian, terbentuknya negara secara otomatis membatasi penerapan pembukaan lahan baru.

Semua tanah yang berada dalam suatu negara, jika tidak dimiliki oleh individu atau adat, berarti kepemilikannya di tangan negara. Oleh karena itu untuk memanfaatkan atau membuka lahan baru harus dengan ijin dari negara. Individu tidak bisa sembarangan lagi membuka lahan, karena lahan tersebut berada dalam wilayah ‘ammah.

Namun, di sisi lain, negara juga harus menjalankan kewajibannya memenuhi hak individu rakyatnya, sehingga jika pembukaan lahan dalam kerangka untuk memperoleh tempat tinggal atau untuk memenuhi kebutuhan pokok rakyat, maka seharusnya negara mengijinkan.Dengan aturan Islam konflik agraria tidak akan terjadi, karena aturan-aturan jelas dan detail. Dan tidak hanya menguntungkan golongan-golongan elite, namun rakyat mendapatkan keadilan yang memang menjadi haknya.  Wallahua’lam.

Disclaimer : Label opini adalah media warga. Setiap opini di Label ini menjadi tanggung jawab penulis. Jika ada pihak yang berkeberatan atau merasa dirugikan dengan tulisan ini maka sesuai aturan pers bahwa pihak tersebut dapat memberikan hak jawabnya kepada penulis Opini dan Redaksi akan menayangkan tulisan tersebut secara berimbang.
Komentar

Tampilkan

Terkini

Peristiwa

+